Guru dan Murid



PERSPEKTIF ISLAM TENTANG GURU DAN MURID SERTA POLA  HUBUNGAN ANTAR KEDUANNYA DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM.
Oleh : Wikan Yustafa

A.  Perspektif Islam Tentang Guru

1.    Pengertian Guru Dalam Pandangan Islam
Pada umumnya di Indonesia ini, ataupun di sekolah-ekolah umum orang yang mendidik ataupun yang mengajar sering disebut sebagai guru. Islam sebagai agama yang mendapat ridlo dari Allah SWT. untuk pendidik memiliki banyak sebutan dan juga masing-masing memiliki kemampuan sendiri-sendiri. “Maka dalam Islam guru biasa disebut sebagai ustadz, ma’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib[1], selanjutnya akan dijelaskan dibawah ini, sebagai berikut :
a.    Guru sebagai “Ustadz”
Kata ustadz ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk komitmen untuk profesionalisme dalam mengemban tugasnya[2]. Guru professional itu pada dirinya melekat sifat edikatif yang besar pada tugasnya, serta siap continous improvement, yaitu selalu berusaha memperbaiki  cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamanya, dengan landasan ytang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.
Pada konsep diatas seorang ustadz memeang seorang yang harus memiliki profesionalitas, berkomitmen, dan selalu memperbaiki diri secara berkelanjutan. Maka seorang ustadz diharapkan dapat menyiapkan generasi penerus dimasa mendatang yang siap akan segala sesuatunya. Untuk menyiapkan penerus yang akan datang ustadz tidak boleh menutup dirinya pad setiap informasi pengetahuan dan tekhnologi pada dirinya. Ustadz harus pandai-pandai memberikan nilai kemanfaatan pada ilmu pengetahuan yang diberikan pada murid, dengan demikian seorang ustadz siap sebagi ustadz yang sebenarnya dan mengemban tanggung jawab pada generasi berikutnya. 
b.    Guru sebagai “Mu’allim
Berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm  terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah[3]. Pada konsep ini seorang mu’allim  dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat “ilm dan juga memberikan motivasi pada murid untuk dapat menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian mu’allim dituntut untuk sekaligus mentrasfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta amaliah [implementasi].
Misalkan saja, guru fiqh; akan berusaha menjelaskan hakikat fiqh, yaitu mengajar nilai-nilai mu’amalah dan ibadah dalam mengambil sikap dan tindakan  dalam kehidupan sehari-hari, dan serta dilandasi oleh pertimbangan nilai-nilai mu’amalah dan keyakinan yang matang, selanjutnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan amaliah yang fiqhiyah.
c.    Guru sebagai “Murabbiy”
Berasal dari kata dasar “Rabb”. Tuhan adalah sebagai “Rabb al-Amin” dan “Rabb al-Nas”, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia[4]. Manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini diberikan tugas untuk dapat berkreatifitas serta mengembangkannya, memelihara, mengatur, dan menjaga alam seisinya ini.
Dengan demikian konsep diatas yang menunujukkan bahwa seorang guru “murobbiy” berfungsi ataupun bertugas untuk dapat membantu mengarahkan kreativitas anak didik “murid”. Memelihara hasil kreasi anak untuk dapat digunakan atau memberi kemanfaatan kepadanya. Mengatur kebutuhan siswa, serta proses pembelajaran yang dapat mendukung terciptanya pembelajaran yang efektif dan efisien, dan juga guru menjaga murid dari pengaruh luar yang membehayakan pada diri murid  karena pengaruh globalisasi yang negatif. Dengan demikian akan menghasilkan murid-murid yang memiliki sikap positif dan dinamis dalam masa perkembangannya.     
d.   Guru sebagai “Mursyid
Mursyid” bisa digunakan untuk guru dalam “thariqah”. Imam Syafi’i pernah meminta nasehat kepada gurunya [imam Waki’] ada dua hal yang perlu digaris bawahi dari nasehat imam Waki’, yaitu pertama, untuk memperkuat ingatanya diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiyat. Kedua, ilmu itu adalah cahaya Illahi yang mana tidak akan tampak dan terlahir dari orang yang suka maksiyat[5].
Pada konsep pertama menegesankan bahwa untuk memperkuat ingatan diperlukan perbuatan untuk menjahui maksiyat. Dalam psikologis memang harus ada keseimbangan atau keserasian antara fungsi-fungsi jiwa sehingga tidak akan terjadi problem mental. Fungsi jiwa diantaranya yaitu berupa dorongan, perasaan, ingatan, pikiran. Apabila salah satu diantara empat tersebut terjadi problem yang lainnya maka yang lain akan terpengaruh. Ketika ada orang yang berbuat maksiyat maka perasaanya akan memeiliki rasa dosa, bersalah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan pada ingatan atau pikirannya.
Pada konsep kedua manusia memeiliki tiga aspek uatama {1} jismiyah, {2} nafsiyah, {3}ruhaniyah. Orang yang suka berbuat maksiyat berarti nafsiyahnya dirahkan oleh jismiyah atau kenikmatan material yang bersifat sementara. Sedangkan orang yang berusaha meninggalkan maksiat,berarti nafsiyahnya diarahkan oleh ruhaniyah yang selalu menuju Tuhan.Dengan demikian seorang mursyid [guru] berusaha menularkan penghayatan [transinternalisasi] akhlak dan atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya,maupun dedikasinya yang serba lillahi ta`ala.Sehingga dalam konteks pendidikan guru mengandung makna sebagai model suriteladan ataupun central identifikasi diri.      
e.    Guru sebagai “Mudarris”  
Kata “mudarris” berasal dari akar kata “darasa – yadrusu - darsan wa dirasatan”, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih dan mempelajari[6]. 
Dipandang dari pengertian diatas menunjukkan bahwa untuk seorang guru hendaknya menghapus segala bentuk kebodohan, keterpurukan akhlak agar menjadi lebih mengetahui dan berakhlak. Guru lebih memiliki inovatif dalam ilmu pengetahuan agar tidak usang pegetahuan tersebut ketika digunakan oleh muridnya dikehidupannya. Guru melatih diri serta siswanya dilatih untuk mempersiapkan kematangan pribadi untu menhadapi kehudupan, serta memepelajari terus ilmu pengetahuan yang baru dan selalu mencari.
f.       Guru sebagai “Mu’addib
Kata “mu’addib’ berasal dari kata “adab” yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan [kecerdasan atau kebudayaan] lahir dan batin[7].  Dalam konteks ini diharapkan guru dapat menularkan moral, etika, dan adab kepada murid-muridnya. Memang guru hendaknya memiliki adab, dimana adab seorang guru jadi perhatian dilingkungannya.  Sehingga apa saja yang dilakukan oleh guru mulai dari perkataan, tingkah laku dan sikap akan mejadi bahan tiruan bagi muridnya. Dengan demikian guru dapat membangun adab, moral, etika muridnya untuk kehidupannya dan masa depannya.

2.    Guru Dalam Pandangan al-Qur’an
Dalam Islam guru dibagi menjadi empat macam yaitu; pertama Allah   SWT., kedua, Nabi, ketiga, orang tua, keempat Orang lain [guru]. Untuk selanjutnya dijelaskan dibawah ini :
a.    Allah SWT.
Allah SWT menginginkan umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan akhirat. Karena itu mereka harus memiliki etika dan bekal ilmu pengetahuan. Allah SWT memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas [Al’alim]. Sifat lainnya yang dimiliki Allah SWT. sebagai guru adalah pemurah dalam arti tidak kikir dengan ilmu-Nya; Maha Tinggi, Penentu, Pembimbing, Mengetahui siapa yang baik dan buruk, Menguasai cara-cara [metode] dalam membina umat-Nya antara lain melalui firman Allah SWT. dalam al-Quran.
QS.Al-alaq:1 :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ

Artinya : “Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan[8]”.


QS. Al- An’am : 3 & 7.

uqèdur ª!$# Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# Îûur ÇÚöF{$# ( ãNn=÷ètƒ öNä.§Å öNä.tôgy_ur ãNn=÷ètƒur $tB tbqç7Å¡õ3s? ÇÌÈ
3.  Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.



Artrinya : “ Menentukan kadar dan fungsi masing-masing  lalu memberikan petunjuk cara mengunakannya”[9].

öqs9ur $uZø9¨tR y7øn=tã $Y7»tFÏ. Îû <¨$sÛöÏ% çnqÝ¡yJn=sù öNÍkÏ÷ƒr'Î/ tA$s)s9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ

Artinya : “Sesungguhnya Dia mengetahui segala yang terang dan tersembunnya[10].

7.  Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata."


b.    Nabi
Selanjutnya yang kedua sebagai guru menurut al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Sejalan penabian yang dilakukan oleh Allah SWT. Terhadap Nabi Muhammad SAW., Allah SWT. Juga meminta beliau agar membina masyarakat, dengan perintah untuk berda’wah [Q.S. al-Mudassir: 74][11].  Pembinaan masyarakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad  SAW. Dengan berda’wah. Da’wah Nabi Muhammad SAW. Dimulai dari keluarga, kemudian tetangga sekitarnya, dan seterusnya adalah masyarakat luas pada khususnya masyarakat Arab dan umumnya masyarakat dunia.
Da’wah yang dilakuakan oleh Nabi Muhammad dapat diartikan dengan melakukan pendidikan ataupun pengajaran pada seluruh umat manusia. Pendidikan ataupun prngajaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad cukup signifikan hasilnya [baik] dalam upaya mengentaskan kebobrokan ataupun keterpurukan moral pada masyarakat jahiliyah. Sehingga masyarakat sekitar mulai berangsur-angsur memiliki etika dan moral yang baik. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. dalam proses pelaksanaan pendidikan ataupun pengajaran tidak terlepas dari metode yang digunakannya, “metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam proses pendidikan ataupun pengajaran tersebut, yaitu dengan cara menyayangi, keteladanan yang baik, mengatasi penderitaan, dan masalah yang dihadapi oleh umat, memberi ibarat, contoh dan sebagainya yang menarik perhatian masyarakat”[12].  Dengan mengunakan metode-metode diatas yang cukup mengedepankan nilai-nilai kemanusian yang didasari oleh semanggat kuat bahwa manusia itu memiliki hati yang baik.     
c.    Orang tua [Bapak dan Ibu]
Selanjutnya guru dalam al-Qur’an adalah terdiri dari orang tua. Memang pada dasarnya orang tualah yang berkewajiban untuk mendidik anak adalah kedua orang tua yang telah melahirkan dan mendewasakan serta mengarahkan kehidupan anak. Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki orang tua sebagai guru yaitu, memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio, banyak bersyukur kepada Allah SWT., suka menasehati anaknya agar tidak menyekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan sholat, sabar dalam menghadapi penderitaan [lihat Q.S. al-Luqman : 12-19][13].
Sifat hikmah yang dimiliki orang tua ini ditunjukkan untuk mendidik anaknya dengan memberikan ilmu pengetahuan yang ilmiah dan dapat diterima oleh anaknya. Sifat lain yang hendaknya dimiliki oleh orang tua adalah dapat bersyukur kepada Allah SWT., bersyukur kepada Allah SWT. Ini dapat dicontohkan kepada anaknya agar selalau mensyukuri segala karunia Allah SWT. Selanjutnya sifat yang harus dimiliki oleh orang tua adalah menasahati anak, menggingat bahwa kondisi psikis anak masih dalam kondisi yang labil. Dengan demikian anak amat memerlukan nasehat dari orang tua untuk mengerem segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islan dan norma-narma masyarakat. Seterusnya anak diajarkan tentang kesabaran, anak sering kali melakukan segala sesuatu disikapi dengan ketidak sabaran. Padahal dalam Islam kesabaran itu adalah kekasah Allah SWT. Sifat sabar yang dimiliki anak ini akan menjadi dasar yang baik dalam menjalankan kehidupan dalam interaksi bermasyarakat.
d.   Orang lain [guru]
Selanjutnya al-Qur’an menyebutkan pendidik atau guru yang keempat adalah orang lain. Informasi yang amat jelas tentang hal ini antara lain dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 66-82[14]. Dalam ayat ini dijelaskan mengenai Nabi Musa yang diperintahkan agar mengikuti Nabi Khidir dan belajar kepadanya.
Nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidir inilah yang menjadi landasan bahwa pendidik itu bukan hanya orang tua saja, tetapi orang lain pun juga bisa dikatakan sebagai pendidik dengan beberapa syarat yang memenuhi kriteria pendidik.   

3.    Jenis-Jenis Pendidik
Jenis-jenis pendidik menurut Prof. Dr. Athiyah al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam, yaitu[15] :
a.         Pendidik Kuttab, pendidik yang mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak di kuttab. Sebagian mereka hanya berpengetahuan sekedar pandai membaca, menulis dan menghafalkan al-Qur’an. Sebagian di antara mereka mengajar hanya untuk kepentingan duniawi atau mencari penghidupan semata.
b.      Pendidik Umum, ialah pendidik pada umumnya, ia mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan mengelola pendidikan Islam secara formal seperti madrasah, pondok pesantren atau yang lainnya.
c.          Pendidik khusus, seringkali disebut sebagai muadib yaitu pendidik yang sering memberikan pengajaran khusus kepada seseorang  anak pembesar, pemimpin negara atau kholifah seperti pendidikan yang dilaksanakan di istana. 
4.    Sifat-Sifat Guru Yang Baik Dalam Pandangan Islam
Memang guru adalah sosok manusia yang baik yang dapat dicontoh oleh murid-muridnya untu menjadi manusia yang baik serta beriman kepada Allah SWT dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjahui segala larangan-Nya. Maka sifat-sifat  guru dalam Islam tidak terlepas dari nilai-nilai Islam yang harus melekat pada diri guru, sebagaimana pandangan al-Ghazali tentang manusia, guru, dan ilmu, sebagai berikut ;
“ makhluk yang paling mulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan serta mensucikan hati hingga hati itu dekat kepada Allah SWT. karena itu mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan adalah ibadah kepada Allah SWT., dan dari sudut pandang yang lainnya adalah menunaikan tugas manusia sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Dikatakan khalifah Allah SWT., karena Allah SWT. telah membukakan hati seorang   alim dengan ilmu dan dengan ilmu itu pula seorang alim menampilkan identitas dirinya”. [al-Ghazali; 1939; 13][16].

Begitu juga Asma Hasan Fahmi, misalnya mengatakan barangkali hal yang pertama dan menarik perhatian dalam mengikuti pembahasan orang Islam ialah penghormatan yang luar biasa terhadap guru sehingga menempatkannya pada tempat yang kedua setelah martabat para nabi. Hasan fahmi mengutip ucapan seorang penyair zaman modern;
“Berdirilah kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rosul”[17].

Peryataan al-Gazali diatas menunjukkan bahwa seorang guru adalah manusia yang mulia. Dengan kemulian tersebut seorang guru hendaknya dapat memberikan pendidikan dan pengajaran pada manusia yang lainnya. Sehingga manusia di bumi ini menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi manusia memiliki segumpal darah yaitu hati, dalam hati inilah manusia memiliki pertimbangan yang haq dan yang bathil. Disisi lain seorang guru dihormati karena kemuliaanya karena mampu untuk membimbing, mensempurnakan, dan mensucikan hati, hingga hati itu dekat kepada Allah SWT. Maka sifat-sifat guru yang baik dalam Islam adalah :
a.       Guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan mengharapkan keridloaan Allah SWT. semata[18].  Firman Allah SWT dala al-Quran surat Yasin ayat 21 :

Artinya : “Ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah apa-apa kepadamu, mereka adalah orang yang mendapatkan petunjuk”[19].  
Dengan niat semata-mata karena Allah SWT., ia tidak berarti seorang guru harus hidup miskin, serba dalam ketidakadaan, melarat, ataupun sngsara, melainkan seorang guru juga boleh untuن hidup kaya sebagaimana mestinya. Bukan berarti seorang guru tidak boleh menerima upah, melainkan boleh untuk menerimanya, karena jasanya mengajar. Dengan memiliki niat yang demikan, mak tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam keadaan punya uang atau tidak.
Bagaimanapun seorang guru yang menerima gaji itu tidak akan mengurangi zuhud dan mencari ridlo kepada Allah SWT., karena bagaimanapun manusia hidup di dunia ini memerlukan harta dan juga uang meskipun ia hidup sederhana.
b.      Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk. Athiyah al-Abrasy mengatakan, seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, pamer, dengki, permusuhan dan sifat-sifat lainnya yang tercela menurut agama Islam[20].
Seorang guru yang memiliki sifat yang demikian itu akan memberikan hikmahnya kepada murid-muridnya. Seorang guru yang bersih badan dan hatinya akan mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dalam mengajar dan mendidik muridnya. Guru tidak akan pernah berbuat sesuatu yang tercela kepada muridnya walaupun murid itu nakal dan berani kepada gurunya. Guru akan lebih memandang muridnya sebagai manusia yang juga makhluk Allah SWT. maka guru akan lebih berusaha lagi dalam mendidikdan megajarnya
c.       Seorang guru harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam uraiannya, Athiyah al-Abrasy mengatakan bahwa keikhlasan dan kejujuran seorang guru dalam pekerjaanya merupakan jalan terbaik kearah suksesnya dalam tugas dan sukses murid-muridnya[21].
Ada saja guru yang kurang memiliki rasa keikhlasan dalam mengajar, dengan sebab ada persoalan kecil. Karena sifat ikhlas ini dapat memberikan kemanfaatan ilmu yang diperoleh murid dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian sifat ikhlas ini harus benar-benar tertanam pada diri pendidik agar tidak terjadi “kebobrokan pendidikan” hanya karena guru tidak ikhlasa dalam mengajar.   
d.      Seorang guru juga harus bersifat pemaaf  terhadap muridnya. Ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar, dan jangan pemarah sebab-sebab kecil[22].  Akan terasa rendah diri dan hina jika dalam mengajar guru marah hanya karena masalah kecil dan apalagi guru tidak mau memaafkan kesalahan muridnya yang telah dengan sadar merasa dirinya merasa bersalah. Guru harus sedapat mungkin menahan untuk dapat menahan marahnya dihadapan muridnya, tampakkanlah bagi guru sifat kesabaran, hormat, lemah lembut, kasih saying, dan tabah dalam mencapai sesuatu keinginan. 
e.       Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru[23]. Pada sifat ini memang sulit untuk dilakukan seorang guru kecuali ia memiliki rasa kasih sayang yang tinggi pada anak-anak sendiri atau orang lain. Dengan landasan kasih sayang ini seorang guru dapat menerima muridnya dengan kasih saaing tanpa membeda-bedakan dan juga tidak pilih kasih. Sifat ini yang akan memberikan kebahagian pada murid dalam proses belajar mengajar. Karena murid merasa diperlakukan yang sama meskipun ia merasa memiliki banyak perbedaan.
f.       Setiap guru harus mengetahui bakat, tabiat dan watak murid-muridnya[24]. Guru yang mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya akan sangat membantu sekali dalam proses belajar mengajar. Guru akan dapat memberikan ilmu pengetahuanya dengan melihat kapasitas setiap murid, serta guru dapat melakukan pendekatan-pendekatan pada murid-muridnya yang kurang maksimal dama menerima materi. Disamping itu juga guru dapat mengunakan berbagai metode pembelajaran untuk memudahkan pembelajaran dengan melihat berbagai perbedaan yang ada pada muridnya. Dengan demikian guru dapat menyampaikan materi dengan maksimal karena megetahui baat, tabiat, dan watak setiap muridnya.  
g.      Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya[25].  Bagaimana tidak, jika seorang guru dalam mengajar tidak menguasai bidang studi yang diajarkannya, bisa-bisa yang tejadi adalah “kesemrawautan”  dalam kelsa dan juga muridnya tidak paham apa yang sebenarnya yang dijelaskan oleh guru. Ketidak pahaman ini disebabkan oleh guru yang tidak memiliki kecakapan dalam pemahan pada materi yang disampakannya serta tidak didukung dengan metode pembelajaran yang tepat.
Pada dasarnya sifat-sifat guru diatas dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama berkaitan dengan kepribadian, dan yang kedua berkaitan dengan akademik. Sifat-sifat diatas masih umum, yang artinya guru pada setiap jenjang memiliki perbedaan sifat dalam setiap jenjang, oleh karena itu boleh ditambah. 

5.    Tugas Guru Dalam Pandangan  Islam
Dalam Islam, tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang mulia. Posisi ini menyebabkan mengapa Islam menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi derajatnya biala dibandingkan dengan manusia lannya [Q.S. al-Mujadilah ; 11]. Secara umum tugas pendidik adalah menddik[26]. Sedangkan menurut Abdullah Ulwan  tugas guru ialah melaksanakan pendidian ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan terhadap kepribadian dan emansipasi harkat manusia[27].  
Pada dua konsep diatas memang tugas pendidik adalah mendidik murid-muridnya agar menjadi manusia yang memiliki kepribadian dan emnsipasi harkat manusia. Untuk itu seorang guru hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Menurut Abdullah Ulwan sifat seorang guru adalah;
a.       Tugas pensucian, guru hendaknya mengembangan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b.      Tugas pengajaran, guru hendaknya menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalamanya.
  Tugas guru pensucian ini erat kaitannya dengan aspek ruhaniyah yaitu membersihkan hati dari berbagai sifat tercela atau keburukan dan menjahui larangan Allah SWT dan melaksanakan segala perintah-Nya. Sedangkan tugas guru untuk pengajaran lebih menekankan pada transfer of knowled  kepada murid untuk diterapan dalam kehidupan sehari-hari.
Tugas lain seorang guru ialah harus punya ilmu pengetahuan keagamaan dan lain-lainnya. Pengetahuan ini jangan hanya sekedar diketahuai tetapi juga diamalkan dan diyakini. 

6.    Syarat-syarat Guru Dalam Pandangan Islam
Menurut H. Mubangid bahwa syarat untuk menjadi pendidik atau guru yaitu[28] :
a.       Dia harus orang yang beragama.
b.      Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
c.       Dia tidak boleh kalah dengan guru-guru sekolah umum lainnya dalam membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air.
d.      Dia harus memiliki perasaan panggilan murni[29]. 
Dari syarat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus bekerja sesuai dengan pendidikannya serta memiliki pengetahuan yang cukup luas. Dan kemudian guru juga harus memiliki akhlak antara lain[30] ;
a.       Mencintai jabatannya sebagai guru.
b.      Bersikap adil terhadap semua muridnya.
c.       Guru harus wibawa.
d.      Guru harus gembira.
e.       Berlaku sabar dan tenang.
f.       Guru harus bersifat manusiawi.
g.      Bekerjasama dengan guru-guru lain.
h.      Bekerjasama dengan masyarakat.
Selanjutnya guru juga hendanya memiliki kode etik ditengah-tengah para muridnya[31], yaitu :
a.       Guru hendaknya mengajar dengan niat.
b.      Guru hendaknya tidak menolak mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
c.       Guru hendaknya memotifasi murid .
d.      Guru hendaknya mencintai murid.
e.       Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dimengerti.
f.       Guru hendaknya melakukan evaluasi.
g.      Guru hendaknya bersikap adil.
h.      Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid.
i.        Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid.
Dengan memiliki kode etik guru ditengah-tengah murid, maka dalam proses pembelajaran seorang guru dihadapan murid dipandang sebagai orang dewasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas, terhormat, dan memiliki kewibawaan. 
Pendapat yang lainnya dalam buku “Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam” seorang guru harus memiliki kompetensi dalam menunaikan tugasnya dengan baik atau bertindak sebagai tenaga pengajar yang efektif[32], untuk itu kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu :
a.       Kompetensi kepribadian.
Setiap guru memiliki kepribadian sendiri-sendiri yang unik, untuk itu perlu dikembangkan secara terus menerus agar guru itu terampil dalam :
ü  Mengenal dan mengakui harkat dan potensi dari setiap individu atau murid yang diajarnya;
ü  Membina suasana social meliputi interaksi belajar;
ü  Membina perasaan saling menghormati.
b.      Kompetensi atas penguasaan atas bahan pengajaran.
Guru menguasai ilmu pengetahuan dan dapat menyampaikan kepada muridnya dengan mudah. 
c.       Kompetensi dalam cara-cara mengajar.
Guru dapat melakukan dan menguasai tentang perencanaan pembelajaran, mempergunakan media pendidikan, dan mengembangkan semua metode-metode mengajar. 
7.    Keutamaan mengajar Dalam Pandangan Islam
Mengajar jelas memiliki kemuliaan, karena membantu murid dalam megarahkan perkembangannya kerah yang baik dimata Allah SWT. maka ada beberapa keutamaan mengajar, diantaranya yaitu :
a.    Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perintah wajib.
b.    Perbuatan mendidik atau mengajar merupakan perbuatan yang terpuji dan dapat pahala dari Allah SWT.
c.    Perbuatan mendidik atau mengajar merupakan amal kebajikan jariyah yang aan mengalirkan pahala dari ilmu yang diajarannya.
d.    Perbuatan mendidik atau mengajar kebajikan yang dapat endatangkan magfiroh.
Dengan demikian pendidik memiliki arti penting, hal ini disebabkan memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan pada diri anak-anak. Oleh karena itu Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu dan bertugas sebagi pendidik.  Islam mengangkat derajatnya mereka dan memuliakan mereka melebihi orang Islam lainnya.   

B.  Perspektif Islam Tentang Murid

1.    Pengertian Murid Dalam Pandangan Islam
Murid dalam pendidikan Islam ialah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangannya. Pengertian ini di dasarkan atas tujuan pendidikan  Islam, yaitu manusia sempurna secara utuh, yang untuk mencapai manusia berusaha terus menenerus hingga akhir hayatnya.
2.    Dasar-dasar kebutuhan anak dalam pendidikan
Manusia terlahir secara kodrati memiliki kebutuhan, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi tiga macam[33], yaitu;
a.    Aspek pedagogis
Para ahli pendidikan memandang manusia sebagai animal educadum : makhluk yang memerlukan pendidikan .

b.    Aspek sosiologis atau cultural
Manusia adalah homosocius, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau yang memiliki instink untuk hidup bermasyarakt.
c.    Aspek tauhid
Bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan yang artinya makhluk yang beragama.
Dengan adanya tiga aspek itu maka anak harus dijaga dan di didik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.    Batas-Batas Pendidikan Dalam Islam[34]
a.    Batas awal pendidikan dalam Islam
Dr. hasan Fahmi mengatakan anak dapat didik setelah 4 tahun, sedangkan Athiyah al Abrasiy anak dapat didik pada usia 5 tahun, sedangkan pendapatnya al ‘Aabdari anak mulai di didik dalam arti sesungguhnya setelah berusia 7 tahun.
Oleh karena itu manusia dibimbing dan diarahkan sejak awal pertumbuhan agar kehidupannya berjalan dengan baik. Hal inilah yang memerintahkan agar belajar sejak kecil. 
b.    Batas akhir pendidikan dalam Islam
Makhluk dimuka bumi ini semuanya akan berakhir pada kematian. Rasulullah pernah memerintahkan sahabatnya untuk mengajari membaca shahadat kepada oaring yang akan meninggal dunia. Ini adalah belajar teakhir kali dalam hidup ini.
4.    Tugas peserta didik.
Al_Ghozali mengemukakan tugas-tugas peserta didik sebagai berikit[35] :
a.    Mensucikan diri dari sifat tercela, sebab menuntut ilmu adalah ibadah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 
b.    Mengurangi berbagai kesibukan duniawai, atau berkosentrasi pada belajar.
c.    Tidak sombong pada guru dan ilmu.
d.   Murid pemula hendaknya menghindarkan pandangan-pandangan khilafiyah [controversial].
e.    Tidak meninggalkan satupun diantara ilmu-ilmu terpuji.
f.        Tidak mempelajari ilmu secara mendalam sekaligus.
g.    Ilmu-ilmu tersusun secara sistematis: sebaguan prasyarat untuk mempelajari sebagian yang lain.
h.    Mengetahui norma untuk menyusun hirarki ilmu. Norma dimaksud ialah kemuliaan buah dan kekuatan dalil.
i.        Belajar hendaknya bertujuan : di dunia untuk menghiasi batin dengan keutamaan dan di akhirat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
j.        Mengetahui kedudukan ilmu terhadap tujuan agar tidak mendahulukan ilmu yang tidak penting atas ilmu yang penting.
5.    Adab atau Sopan Santu Belajar Dalam Pandangan Islam
Agar anak didik itu memperoleh ilmu yang manfaat diperlukan adab atau tatakrama, menurut al Gazali ada beberapa kreteria yaitu :
a.    Hendaklah seorang pelajar mengemukakan cita-citanya yang suci  dan semangat yang suci.
b.    Hendaklah tidak berhubungan dengan urusan lain.
c.    Hendaklah seorang pelajar itu tetap dan tenang dalam menghadapi seorang guru.
d.   Janganlah ia meninggalkan satu matapelajaran yang hendak dipelajari.
e.    Jangan menyombongkan diri dengan ilmu pelajaran yang dipelajarinya.
f.       Janganlah hendak mempelajari sekalian ilmu pengetahuan itu, ambillah yang lebih penting dahulu.
g.    Jangan mengambil tambahan pelajaran sebelum pelajaran yang lama di mengerti.
h.    Hendaklah tujuan pendidikan di hadapkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
i.      Hendaklah pelajar mengetahui perbandingan faedah tiap-tiap ilmu.
Dengan demikian anak itu memerlukan pendidikan  karena ia berada dalam keadaan yang tidak berdaya. [Q.S an_Nahl : 78].  Sekalipun demikian Allah SWT menjadikan manusia itu sebaik-baiknya bentuk. Islam memandang manusia sebagai obyek pendidikan itu sejak ia dilahirkan dari kandungan ibunya sampai keliang lahat. 

C.  Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Antar Keduanya Dalam Proses Pendidikan Islam.
Dalam Islam jelas bahwa hubungan antara guru dan murid memiliki hubungan secara erat  dalam proses pembelajaran ataupun diluar pembelajaran [di madrasah atau pesantren]. Untuk lebih jelasnya diuraikan dibawah ini.
1.             Pola Hubungan Tentang Akhlak Guru Terhadap Murid.
Menurut ibn Jama’ah pola hubungan tentang akhlak guru terhadap muridnya yaitu ;
a.       Menghormati kepribadian para pelajar pada saat pelajar itu salah  atau lupa, karena guru sendiri kadang lupa.
b.      Memberi peluang terhadap pelajar yag menunjukkan kecerdasan dan keunggulan.
c.       Memberi pemahaman menurut kadar kesanggupan murid-muridnya.
d.      Mendahulukan pemberian pujian dari pada hukuman.
e.       Menghormati muridnya.
f.       Memberikan motivasi kepada para murid agar giat belajar.
g.      Memperlakukan para murid secara adil tidak pilih kasih.
h.      Memberi bantuan kepada para murid sesuai dengan tinggkat kesanggupan .
i.        Bersikap rendah hati.  
2.             Pola Hubungna Akhlak murid Terhadap Guru. 
a.       Murid harus bersikap rendah hati pad ilmu atau guru.
b.      Murid harus menjaga keridloan gurunya.
c.       Murid jangan menggunjing disisi gurunya. Juga jangan menunjukkan perbuatan yang buruk, mencegah orang lain menggunjing gurunya.
d.      Murid hendaknya tidak memasuki ruangan guru kecuali setelah mendapatkan ijinnya.
e.       Murid harus memahami tata krama dalam majlis ilmu.
f.       Murid harus pandai membagi waktu dengan baik.
g.      Murid hendaknya menyenangkan hati sang guru.
h.      Murid harus giat belajar dan sabar dalam menuntut ilmu[36].
Dengan demikian hubungan guru dan murid dalam pandangan Islam amat dekat sekali, Oleh karena itu tidak benar jika guru memandang muridnya sebagai manusia yang bodoh atau hina. Maka harus sebaliknya guru memandang muridnya sebagai manusia yang cerdas dan mulia yang dapat dididik dalam proses perkembangannya. Begitu pula sebaliknya murid juga tidak boleh memandang guru sebagai orang yang  keras dan suka memukul ataupun yang menghukum, melainkan seorang murid hendaknya memandang guru sabagai manusia yang paling mulia karena mendidik ruh mereka.
Sekali lagi, hubungan antara guru dengan murid amatdekat” sekali, tetapi jalinan iti tidak boleh meniadakan “jarak” dan rasa hormat murid terhadap guru. Wibawa harus senantiasa ditegakkan, namun “keakraban” juga terjalin. Inilah seni jalinan yang harus diciptakan dalam situasi pendidikan[37].     
Maka jelaslah bahwa Islam memandang hubungan guru dan murid  sangat dekat, mereka berdua harus saling “take and give” dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama.





[1] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya : PASDM, 2003) 65-66.
[2] Ibid., 209.
[3] Ibid., Muhaimin, 210.
[4] Ibid.
[5] Ibid., Muhaimin, 211-212.
[6] Ibid.
[7] Ibid., Muhaimin, 213.
[8] [8] Bachtiar Surin, Terjemah & Tafsir al-Qur’an Huruf Arab & Latin  (Jakarta : Depag RI, 1978), 1025.
[9] Ibid., 1008.
[10] Ibid.
[11] Muhaimin, Wacana Pengembangan pendidikan Islam (Surabaya : PSADM,2003), 65-66.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
[14] Ibid., 67.
[15] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 1996), 71.
[16] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1999), 140.
[17] Basuki As’adie, Kumpulan Materi Matrikulasi Ilmu Pendidikan Islam KD-3 Fitrah Manusia dan Pendidikan, Program Pasca Sarjana INSURI Ponorogo, 71.
[18] Basuki As’adie, Kumpulan Materi Matrikulasi Ilmu Pendidikan Islam KD-3 Fitrah Manusia dan Pendidikan, 71.
[19] Bachtiar Surin, Terjemah & Tafsir al-Qur’an Huruf Arab & Latin , 702.
[20] Basuki As’adie, Kumpulan Materi Matrikulasi Ilmu Pendidikan Islam KD-3 Fitrah Manusia dan Pendidikan, 73.
[21] Ibid., 74.
[22] Ibid.
[23] Basuki As’adie, Kumpulan Materi Matrikulasi Ilmu Pendidikan Islam KD-3 Fitrah Manusia dan Pendidikan, 75.
[24] Ibid.,76.
[25] Ibid,
[26] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan Historis, Teoritis & Praktis (Jakarta : Ciputat Press, 2002), 34.
[27] Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Ciputat : Logos, 1999), 95.
[28] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 74.
[29] Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, 74.
[30] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 75.
[31] Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, 102-103.
[32] Metodik Khusus pengajaran Agama Islam (Proyek Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Pusat, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam 1960/1981), 210-211. 
[33] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 86-91.
[34] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,96-100.
[35] Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, 129-131.
[36] Abudin Nata, Perspektif Islam tentang pola Hubungan Guru-Murid (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 64-65.
[37] Metodik Khusus pengajaran Agama Islam (Proyek Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Pusat, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam 1960/1981), 118-119.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia dalam pandangan kejawen

Proposal isra' mi'raj

Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi