Perkembangan filsafat pendidikan Islam dalam perspektif Ibnu Qutaibah
PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF IBNU QUTAIBAH
Oleh : Wikan Yustafa
A. BIOGRAFI IBNU QUTAIBAH
Ibnu Qutaibah dilahirkan di Bagdad pada tahun 213
H atau 828 M, beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 276 H atau bulan November
tahun 889 M. Nama asli Ibnu Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Bin Muslim ad
Dinawari bin Qutaibah[1].
Ibnu Qutaibah merupakan keturunan dari kota Merwe,
yaitu sebuah kota yang berada di negara Turkmenistan. Ini adalah tempat
kelahiran ayah Ibnu Qutaibah dan kemudian pindah dan menetap di kota Bagdad.
Dalam hidupnya selain ia menetap di Bagdad, ia
juga pernah menetap di Dinawar yaitu sebuah kota yang berada di Kurdistan Iran,
disana ia pernah menjabat sebagai qodli.
Julukan yang diberikan kepada Ibnu Qutaibah adalah
”al Qutbi” atau juga disebut ”al Qutaibi” yang berarti pelana. Dari berbagai
referensi yang penulis kumpulkan tidak ada yang menyebutkan mengapa Ibnu
Qutaibah dijuluki dengan pangilan tersebut. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai
seorang ulama’ yang ahli dalam berbagai bidang ilmu, diantaranya adalah bahasa
arab, nahwu, sastra arab, al Qur’an, tafsir, hadis, fiqh, dan sejarah.
B. PENDIDIKAN IBNU QUTAIBAH
Ibnu Qutaibah pernah belajar hadis kepada Abu
Ya’qub Ishak bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim al Hanzali al Marwazi pada
tahun 238 H atau 853 M. Guru hadis Ibnu Qutaibah adalah salah satu murid dari
Imam Hambali yang sebagai seorang teolog dari golongan Sunni.
C. KARYA-KARYA IBNU QUTAIBAH
Karya yang dimiliki Ibnu Qutaibah sangat beragam,
yang meliputi tentang ilmu al Qur’an, al hadis, sejarah, fiqh, dan ilmu
pengetahuan yang lainnya. Dan karya-karya Ibnu Qutaibah semasa hidupnya adalah
:
1.
Adab
al Katib, yaitu tentang
adab seorang penulis.
2.
al
Ma’arif, yaitu tentang
ilmu pengetahuan.
3.
Gorib
al Qur’an, yaitu tentang
kosa kata asing dalam al Qur’an.
4.
Gorib
al Hadis, yaitu tentang kosa
kata asing dalam Hadis.
5.
Uyun
al Akbar, yaitu tentang tokoh-tokoh
sejarah.
6.
Ta’wil
al Musykil al Qur’an,
yaitu tentang takwil kalimat-kalimat musykil dalam al Qur’an.
7.
Takwil
Mukhtalifal Hadis, yaitu
tentang takwil hadis-hadis yang bertentangan.
8.
Tabaqot
as Syuaro’, yaitu tentang
tingkatan para penyair.
9.
Al Asyribah, yaitu tentang minuman.
10.
Islah
al Mantiq, yaitu tentang
tentang pembaharuan logika.
11.
At Tafqih, yaitu tentang
pemahaman.
12.
Al
Khail, yaitu tentang kawanan
kuda.
13.
I’rab
al Qur’an, yaitu tentang
i’rob-i’rab dalam al Qur’an.
14.
Al
Anwa, yaitu tentang
perlawanan.
15.
Al
Masail wa al Ajwiba,
yaitu tentang soal jawab.
16.
Al
Muyassar wa al Qodah,
yaitu yang memudahkan dan pendahuluan.
17.
Jami’
al Faqih, yaitu tentang
kumpulan fiqh.
Kemudian karya terpenting Ibnu Qutaibah adalah
kitab Ta’wil Mukhtalif al Hadis. Karya ini dianggap penting karena
sebagai cerminan dari zaman pada saat itu Ibnu Qutaibah masih hayat. Dimana
saat itu ada serangan terhadap al hadis dari orang-orang yang memusuhinya[2].
Golongan yang memusuhi ini oleh Ibnu Qutaibah
disebut sebagai inkar sunnah. Golongan inkar sunnah ini menamakan dirinya
sebagai orang yang mengukuti al Qur’an, dengan sebutan al Qur’aniyah. Alasan
penentang sunnah ini adalah bahwa al Qur’an telah mampu menjelaskan dirinya
dengan segala sesuatunya. Sehingga tidak diperlukan adanya penjelas lain
seperti sunnah dan lain sebagainya.
Golongan al Qur’aniyah ini berasal dari kaum
Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Golongan lain yang juga berlawanan
arah dengan Ibnu Qutaibah adalah golongan yang mengikuti Imam Hanafi dan Imam
Maliki, dengan alasan bahwa Ibnu Qutaibah menganggap Imam Maliki adalah ahlurro’yi
karena ia menolak hadis yang mengharamkan segala burung yang bercakar, dengan
alasan berlawanan dengan dzahir (yang tampak dari lahiriyah) dari al
Qur’an surat al An’am ayat 45;
D. PEMIKIRAN IBNU QUTAIBAH
Ibnu Qutaibah dikenal sebagai seorang perawi
hadis, sehingga tidak dapat dielakkan jika ada yang menyoroti tentang
keperowiannya. Tidak sedikit orang yang melakukan Jarh wa Atta’dil
“tinjauan terhadap otoritas seorang perawi dalam meriwayatkan hadis apakah
cacat atau tidak” terhadapnya. Dari kajian tersebut, ada salah satu ulama yang
mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah ialah
pembohong yaitu hakim An Naisaburi. Hakim mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah
adalah pembohong, akan tetapi yang mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah adalah positif
lebih banyak.
Ulama yang
mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah adalah memiliki sifat positif, diantaranya ialah
Husain Adzdahabi, ia adalah seorang kritikus hadis terkenal pada masa setelah
Ibnu Qutaibah, adapun alasanya yaitu ia menganggap bahwa umat itu tidah pernah
bersepakat mengenai kebohongan kecuali terhadap kebohongan yang dilakukan oleh
Dajjal dan Musailamah[3].
Disamping itu Husain juga mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah memang banyak karangan
maupun tulisannya namun ia tidak terlalu banyak dalam meriwayatkan hadis.
Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa Ibnu
Qutaibah adalah Imam dan Ulama’ terkemuka dan terbaik pada masanya dalam hal
tulis menulis, dengan jumlah karya tulisnya mencapai 300 tulisan[4].
Menurut Ibnu Timiyah, Ibnu Qutaibah dalam mengarungi kehidupan kesehariaanya
beliau sering condong kepada Imam Hambali. Namun juga beliau mencurahkan
pemikiran serta dirinya untuk membela ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Pembelaan yang ia lakukan itu ia abadikan dalam karya yang berjudul Ta’wil
Mukhtalif al Hadis.
Pada masa hayat Ibnu Qutaibah juga banya terdapat
pemikiran yang berkembang, seperti pemikiran budaya Yunani yang masuk melali
budaya penterjemahan, aliran budaya Persia yang membawa masuk ajaran atheis,
serta asli budaya arab. Meskipun terdapat berbagai macam kebudayaan yang masuk
serta yang ada pada sekitarnya, namun Ibnu Qutaibah tetap komitmen pada
pendiriaanya yaitu tetap berpegang teguh kepada ajaran Ahlu Sunnah wal
Jamaah.
Ibnu Qutaibah pernah mengatakan bahwa banyak orang
yang mengatakan dirinya sebagai ulama’
yang berambisi untuk menjilat penguasa, mengikuti hawa nafsu serta
mengejar harta duniawi. Sehingga yang menjadi akibat adalah banyak bid’ah yang
bermunculan. Meskipun peristiwa yang terjadi adalah sedemikian, Ibnu Qutaibah
tetap optimis, karena ia merasa tidak sendirian, yang mana waktu itu ia mempunyai
anggapan ada ulama’ yang masih istiqomah pada relnya, yaitu
ulama’-ulama’ besar[5].
Ibnu Qutaibah juga kurang menyepakati terhadap
kaum-kaum ahli sejarah yang ada pada masanya, karena menurut Qutaibah
sejarahwan pada waktu itu banyak yang merekayasa dari karangan ataupun
tulisannya, yaitu dengan tujuan untuk menjadikan karyanya menarik dikalangan
orang awam.
Ibnu Qutaibah mencurahkan hidupnya pada pembelaan
terhadap hadis karena ia menganggap bahwa posisi al hadis terhadap al Qur’an
sudah sangat jelas, yaitu sebagai yang menerangkan atau penjelas (menerangkan
dan menjelaskan) merinci, menguatkan, dan bahkan memberikan analogi. Sehingga
ia menyatakan bahwa “orang yang menyatakan al Qur’an adalah pedoman dan menolak
al hadis adalah kafir”.
[1]
Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
hal. 66.
[2] Hasan ma’ruf Amberi et all, Supplemen Ensiklopedi Islam
(Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhouve, cet ke VII, 2001) hal., 214.
[3] Hasan ma’ruf Amberi et all, Supplemen
Ensiklopedi Islam..........hal., 214.
[5]
Menurut Qutaibah adalah ulama’ salaf.
Komentar
Posting Komentar