Penddikan "interkonektif"


Pendidikan Interkonektif
Oleh : Wikan Yustafa

A.  Gambaran Umum dan Persoalan yang Dihadapi Madrasah di Tanah Air

1.   Gambaran umum Madrasah di Tanah Air
Madrasah di Indonesia pada dasarnya beragam, di sini setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu:
a.    Madrasah yang didirikan semata-mata untuk mendalami ilmu agama (tafaqqah fiddin)
b.    Madrasah yang didirikan bukan hanya mempelajari agama melainkan juga ilmu-ilmu umum.[1]
Landasan yuridis madrasah, baik madrasah swasta maupun madrasah negeri yaitu keputusan bersama tiga menteri: Menteri Agama, Menteri P dan K, Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 (Agama). No. 037/U/1975 (P Dan K) dan No. 36 Tahun 1975 tanggal 24 Maret 1975.  SKB ini selain berlaku untuk madrasah semua jenjang baik negeri ataupun swasta juga madrasah yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren maupun di luar pondok.[2]
Departemen  Agama mencatat tahun 2001 jumlah madrasah mencapai 72.650 buah, 96%nya dikelola masyarakat.[3] Ini membuktikan bahwa madrasah  merupakan institusi pendidikan swadaya masyarakat yang mampu hidup meski dengan kualitas yang tidak memadai tanpa bantuan dan subsidi pemerintah, meskipun bukan berarti pemerintah lepas tangan, tetapi keswadayaan ini merupakan kelebihan madrasah dibanding lembaga pendidikan pemerintah.
2.   Persoalan yang Dihadapi Madrasah di Tanah Air
Data yang membuktikan keunggulan madrasah secara komparatif seperti besaran madrasah yang swadayanya mencapai 96% dan secara nasional jumlah madrasah dibanding pendidikan umum mencapai 20%. Angka ini ideal secara kuantitas. Tetapi dengan kuantitas yang cukup besar ada yang menjadi persoalan yaitu yang terkait dengan kualitas dimana dibuktikan bahwa:
a.     Banyak  madrasah yang berdiri dengan kondisi yang sangat sederhana dan sekedar hidup.
b.    Tingkat sumber daya pengajar madrasah berdasarkan data Departemen Agama tahun 2002, total guru madrasah 456.281 orang dan 80% non PNS, menurut Husni Rohina (2001) 60% guru Madrasah Negeri dan melonjak 80% pada guru swasta masuk kategori tidak layak.[4]
Pada dasawarsa terakhir ini telah diupayakan peningkatan kualitas masalah dari segi kelembagaan, sumber daya manusia maupun kurikulum. Karena masalah besar yang dihadapi oleh ortodoksi dan hegemoni pendidikan Islam sekarang ini adalah lekatnya corak dan pekatnya warna dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama.
B.   Mengakhiri Dikotomi Madrasah dan Sekolah dalam Kependidikan
Agama dan ilmu, madrasah dan sekolah adalah dua etnis yang tidak bisa dipertemukan, keduanya memiliki wilayah yang berbeda. Madrasah tidak memerlukan sekolah, dan sekolah tidak memerlukan madrasah. Seperti itulah gambaran dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dan dikukuhkan oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sekdiknas inilah yang mengubah pandangan tersebut. Bahwa madrasah yang dibawah naungan Departemen Agama sama dan sederjat dengan sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas.
Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di sekolah dan perguruan tinggi umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di madrasah pesantren dan perguruan tinggi agama secara terpisah, sedang terjangkit krisis relevansi. Dari latar belakang seperti itulah kemudian muncul gerakan Rapprochement (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada), antara dua kubu keilmuan adalah  merupakan keniscayaan.
Gerakan ini mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan pada milenium ketiga, sebagai tanggung jawab kemanusiaan bersama. Secara global dalam mengelola SDA yang serba terbatas dan SDM yang berkualitas sebagai khalifah fi ardli.
Filsafat pendidikan Islam yang baru yang perlu dijadikan acuan Perguruan Tinggi Agama sebagai produsen ilmu pengetahuan yang akan menjadi feeder bagi tenaga guru madrasah dan sekolah harus diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki lima kemampuan:
1.    Kemampuan menganalisis persoalan sosial keagamaan secara akademik dan komprehensif  (intellectual academic capacity building).
2.    Kemampuan melakukan inovasi yang terencana dan berkesinambungan entrepreneurial capacity building.
3.    Kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya (institutional capacity building)
4.    Kemampuan membangun jaringan dan hubungan masyarakat yang luas (social capacity building)
5.    Dalam satu tarikan nafas mitos keilmuan dan keagamaan yang terpadu (moral spiritual capacity building)[5]
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama menjadi bangunan keilmuan yang lebih integralistik, bagaimana mengarahkan ilmu teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai rohani, atau dalam kata lain bagaimana memadukan fikir dan dzikir, ilmu dan iman.[6]
C.  Tantangan Perguruan Tinggi Agama Sebagai Feeder Madrasah dan Sekolah pada Era Globalisasi dan Informasi.
Para pakar ramai menyatakan bahwa dunia ini akan semakin kompleks dan saling ketergantungan (interdependence). Dikatakan juga bahwa perubahan yang akan terjadi dalam bentuk nonlinier, tidak bersambung (discontinuous) dan tidak bisa bersambung (a series of continuities). Kita memerlukan pemikiran ulang (rethinking) dan rekayasa ulang (reengineering) terdapat masa depan tersebut. Kita harus berani meninggalkan pikiran dan cara-cara lama yang kurang cocok dan tidak produktif. The road stop here; where we go next? Kesemua pertanyaan tersebut menggambarkan kekhawatiran dunia akan kekurangsiapan kita dan juga merupakan dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.[7]
Kaum muslimin harus survive di tengah persaingan global seperti ini. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi. Tetapi diharapkan juga mampu tampil di depan. Maka restrukturisasi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan.
Mempertimbangkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh anak didik masa depan dan meningkatkan tuntutan masyarakat akan peran lembaga pendidikan. Perguruan Tinggi Agama Islam di bawah Departemen Agama harus tampil untuk melakukan upaya pengembangan akademik dan institusi. Model pengembangan akademik diwakili pembukaan program “wider mandat” yang kelak akan mengarah perubahan bentuk kelembagaan institut menjadi universitas, khususnya beberapa institut yang dipilih secara selektif.
Dengan program inilah diharapkan lahir pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Dimana program epistemologi keilmuan pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini. Kini muatan pelajaran umum dan agama di Madrasah Aliyah perbandingannya yang dulu 30: 70 tahun 1994 menjadi 70: 30 tahun 2000. Tahun 2001 kurikulum madrasah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan penekanan pendidikan umum bercirikan Islam.[8] Perkembangan ini berada dalam kerangka semangat harmonisasi keilmuan dan keagamaan. Maka hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengartikulasikan ajaran Islam dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

D.  Visi Baru Program Integrasi Keilmuan Umum dan Agama: Jaringan Laba-Laba Keilmuan Integralistik-Interkonektif
1.     Visi Baru Program Integrasi Keilmuan Umum dan Agama
Modernisme yang menghendaki deferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal, mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradaban pasca modern ini perlu adanya perubahan yaitu gerakan resakralisasi defrivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferenisasi (rujuk kembali). Jika deferenisasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor kehidupan lain maka dediferensisasi  ini menyatukan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain termasuk ilmu dan agama.[9]
Sebagai contoh gambaran tampilan ilmu yang integralistik bersama prototipe sosok ilmuwan integratif yang dihasilkannya. Yaitu ilmu ekonomi syari’ah yang sudah nyata ada praktek penyatuan antara wahyu Tuhan (devine) dan temuan pikiran manusia (human thinking). Agama jadikan etika dalam perilaku ekonomi, yaitu bagi hasil (al-mudharabah) dan kerjasama (al-masyarakah). Di situ terjadi proses obyektivitas dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non agama atau bahkan anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh  umat manusia (rahmatan lil’alamin).[10] Kedepan kerja keilmuan ini dituntut dapat memasuki wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
2.     Jaringan Laba-Laba Keilmuan Integralistik-Interkonektif
Ilustrasi jaringan hubungan jaringan laba-laba keilmuan yang bercorak teoantroposentris integralistik tergambar di situ, bahwa jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik itu luas (tidak myopic) sekaligus tampil dalam kehidupan sektor tradisional maupun modern lantaran dikuasainya salah satu dasar dan ketrampilan yang dapat menopang keilmuan era informasi globalisasi. Tergambar juga sosok yang tampil menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh kemanusiaan dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer di atas segalanya. Setiap tingkah laku yang ditempuh berlandaskan pada etika moral keagamaan yang obyektif dan kokoh.[11]
Keberadaan Al-Qur'an dan As-Sunnah dimaknai secara baru untuk dijadikan landasan pijak pandangan hidup (weltancshaunung) keberagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan.
Gambar jaringan laba-laba keilmuan.[12]

Dalam kondisi sekarang ini aktivitas keilmuan di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan STAIN di seluruh tanah air hanya terfokus dan terbatas pada lingkar 1 dan jalur lingkar 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadits, tarikh, fiqih tafsir, lughah) itupun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak humaniora klasik.
E.   Upaya-Upaya Pengembangan Akademik dan Kelembagaan Ke Depan
Berdasarkan harapan dan kenyataan visi madrasah madrasah ke depannya harus sesuai dengan khittah awalnya yaitu populis, Islami dan berkualitas.
1.    Visi Populis.
Gambaran bahwa madrasah itu lahir dan dibesarklan oleh masyarakat, hampir seluruh madrasah dibesarkan atas inisiatif masyarakat yang peduli dengan anak sekitarnya yang memerlukan pendidikann. Populis dalam visi ini ingin mengembalikan posisi bahwa madrasah itu milik masyarakat, karena itu tidak boleh menjadi “eksklusif” atau “menara gading”, tetapi tetap mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat.
Jadi dalam proses pembelajaran, madarasah harus dapat mengembangkan berbagai stategi yang menjamin efektivitas pendidikan bagi masyarakat.[13]
2.    Visi Islami.
Pendidikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang suasana dan kehidupan para peserta didik, pendidik dan para penghuni lainnya mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Ciri islami ini tercermin baik dalam kurikulum, aktivitas madrasah, dan suasana lingkungan madrasah. Secara formal ciri khas madrasah dinyatakan kurikulum dalam mata pelajaran agama dimadrasah. Disamping itu ciri khas Islami tersebut dituangkan pula dalam:
a.    Program mafikib dalam nuansa Islami.
Program mafikib dengan nuansa Islami dimaksudkan menjembatani kekurang-akraban dan kekurang tertarikan madrasah di Indonesia dengan bidang studi matematika, fisika, kimia, bilologi dan bahasa inggris. Padahal bidang studi mafikib merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisis siswa dalam mempelajari dan mengembangkan IPTEK.[14]
Hal semacam itu dibutuhkan untuk menahan image bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia bercorak mistik dan sufistik, lebih mementingkan agama daripada dunia.
b.    Program nuansa agama dalam nuansa IPTEK.
Program pembelajaran nuansa IPTEK dalam bidang studi agama merupakan kelanjutan dari program mafikib dengan nuansa Islam. Melalui program ini dilakukan upaya menjembatani pemaduan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena bagaimanapun juga teknologi dapat membantu pengalaman beragama.[15]
Bila upaya mafikib dengan nuansa agama dan bidang studi agama dengan nuansa iptek dapat berhasil, diharapkan tidak ada lagi kesan dikotomi antara pelajaran agama dan umum ataupun dualisme antara sekolah dan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia yang sering diperdebatkan.
c.    Program penciptaan suasana keagamaan di Madrasah.
Penciptaan suasana keagamaan di madrasah tidak terbatas dalam bidang proses belajar mengajar, tetapi juga dalam bidang-bidang lain baik fisik dan sarana bangunan, maupun dalam pergaulan dan pakaian. Suasana pergaulan ini dapat pula berupa simbol dan kegiatan.[16]
Inisiatif keberagaman diatas dapat dikembangkan oleh masing-masing sekolah untuk mampu memikat siswa dalam suasana religius.
3.    Visi berkualitas.
“Berorientasi pada mutu”, ini dicerminkan pada kegiatan dan nilai akademik yang diperoleh madrasah tersebut. baik yang didapat dan dilihat dari hasil belajar siswa berupa nilai pada ulangan, kenaikan kelas, ujian nasional (UN), maupun Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN), berkualitas ini tampak pula dengan banyaknya prestasi yang dicapai oleh siswa madrasah, baik dalam bidang seni, bahasa, komputer, olah raga, ketrampilan dan lain-lain. Sisi lain dari berkualitas adalah kemampuan siswa dan lulusan madrasah masuk dan bersaing dalam dunia global.[17]
Upaya departemen agama untuk meningkatkan kualitas dan kesesuaian madrasah dengan kebutuhan masyarakat dengan dunia global telah dilakukan dengan berbagai kebijakan.
Dengan perkembangan-perkembangan baru di tanah air khususnya setelah diresmikan UIN Jakarta Mei 2002 dan turunnya SK Presiden tentang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 24 Juni 2004. Seluruh komponen bangsa terlebih Departemen Agama dan Departemen Pendidikan perlu menyusun blue print  baru dan jelas. Ke depannya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.[18]
Departemen agama sebagai induk IAIN, STAIN dan UIN perlu berfikir lebih sungguh-sungguh dan sistem matis bagaimana menata ulang lalu lintas percaturan pendidikan agama dan pendidikan umum dibawah naungan departeen agama.
Untuk itu umat Islam harus segera mengambil langkah strategis ke depan dengan tindakan corrective-evaluative terhadap paradigma keilmuan yang dimiliki bangsa sekarang ini dan memberi tawaran-tawaran baru untuk menyongsong perjalanan yang masih jauh ke depan.



[1] Moh. Amin Abdullah, Keilmuan Umum dan Agama dalam Sistem Sekolah dan Madrasah (Jakarta: ROUNDTABLE DISCUSSION: MASA DEPAN MADRASAH, 2004), 21.
[2] HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum)  (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 23.
[3] Abdullah, Keilmuan, 22.
[4]  Ibid., 23.
[5] Ibid,. 30-31.
[6] M. Quraish Shihab, Wasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1999), 446.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tardisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru (Jakarta: Penerbit Kalimah, 2001), 127.
[8] Abdullah, Keilmuan, 33.
[9] Moh. Amin Abdullah , Reintegrasi Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama  (Jakarta: PERTA, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. 1, 2002), 15.
[10] Abdullah, Keilmuan, 36.
[11] Ibid., 36-37.
[12] M. Amin Abdullah, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: PERTA VOL.2 2002), 39.
[13] Komarudin Hidayat, Rountable Discussion, Madrasah Ke Depan (Jakarta: Wisma Antara, 2004), 85.
[14] Ibid., 86
[15] Ibid., 87
[16] Ibid., 88
[17] Ibid., 88.
[18] Abdullah, Keilmuwan, 41

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia dalam pandangan kejawen

Proposal isra' mi'raj

Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi