Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi
URGENSI DAN KONTRUKSI ILMU KALAM DALAM STUDI
Oleh : Wikan Yustafa
A.
Pengertian
Ilmu kalam
Ilmu kalām (bahasa Arab: علم الكلام) adalah
disiplin filsafat mencari prinsip-prinsip teologi Islam melalui dialektika.
Dalam bahasa Arab perkataan ini secara harfiah bermakna "kata-kata".
Seorang cendekiawan kalam digelari sebagai seorang mutakallim (ahli teologi
Islam; jamak mutakallimiin). Terdapat banyak tafsiran mengapa disiplin ini
digelar "kalam"; salah satu alasannya adalah kontroversi terbesar
dalam bidang ini berkaitan dengan Firman Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al
Qur'an, bisa dianggap sebagai bagian dari esensi Tuhan dan karena itu tidak
diciptakan, atau apakah itu dibuat menjadi kata-kata dalam arti normal
berbicara, dan karena itu dibuat[1]. Dengan demikian aspek pokok dalam ilmu Tauhid
atau ilmu kalam adalah masalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah yang Maha
Sempurna, Maha Kuasa dan kesempurnaan yang lainnya.[2]
Di sisi lain juga ditegaskan
bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas persoalan Tuhan atau membincangkan
Tuhan.
Ilmu kalam merupakan
disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan persoalan kalam Tuhan dengan dasar-dasar
argumentasi, baik rasional atau aqliyah (berpikir
filosofis) maupun naqliyah (dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits). Ilmu kalam atau ushuluddin
atau aqidah atau teologi membahas masalah ketuhanan dan kewajiban manusia
terhadap tuhan, tentang keimanan, serta kufur dengan menggunakan argumentasi
logika. Berbicara Siapa yang sebenarnya muslim dan masih tetap dalam islam,
siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari
islam, bagaimana dengan muslim yang mengerjakan hal haram dan kafir yang
mengerjakan hal baik. Empat masalah pokok dalam ilmu kalam yaitu mengetahui
tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan serta mengetahui baik dan jahat dan kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan.[3]
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat
disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian
tentang agama Islam[4]. Oleh
karena itu maka kajian ilmu kalam sangat penting dalam kerangka
pemahaman teologis.
Karena ia sering
diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama
dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian
Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu
sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan
menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan
mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam[5].
Karena beberapa hal yang
berkaitan dengan ilmu kalam yang memiliki corak keilmuan dan juga pembahasan
yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lainnya, maka ilmu kalam dalam berbagai
pandangan para ilmuan muslim menyebutnya dengan berbagai nama, sebagaimana yang
ada dibawah ini :
Sebagai unsur dalam studi
klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat
dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan
lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yaitu
Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tauhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din
(Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama).[6]
Berkaitan dengan
penyebutan lain nama ilmu kalam tersebut maka yang jelas bahwa ilmu kalam
menunjukkan arti dirinya sebagai ilmu yang membahas tentang kaitannya dengan
persoalan-persoalan atau sendi-sendi dan bahkan seluruh aspek-aspek yang
mendasar berkaitan dangan Tuhan “ALLAH swt” dan sebagainya dengan berbagai
metodologi yang dipahami masing-masing dalam penyebutan nama lain dari ilmu
kalam. Dengan demikian dalam hal ini sangatlah jelas bahwa ilmu kalam memiliki
corak dan metode tersendiri dan berbeda dengan keilmuan lainnya.
B.
Urgensi Ilmu kalam
Alasan secara terperinci, Prof. Dr. TM. Hasby
Ash-Syiddieqy meyebutkan alasan ilmu kalam ini disebut ilmu kalam, yaitu[7] :
1.
Problema yang
diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah
kedalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an.
2.
Materi-materi
ilmu ini adalah teori-teori [kalam]; tidak ada yang diwujudkan kedalam
kenyataan atau diamalkan dengan anggota.
3.
Ilmu ini,
didalam menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil pokok-pokok aqidah serupa
dengan ilmu mantiq.
4.
Ulama-ulama
mutaakhirin membicarakan didalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh
ulama’ salaf seperti penakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang
qada, kalam dan lainnya.
Melihat pendapat diatas maka ajaran Islam menuntut agar setiap muslim mempunyai keyakinan
(akidah) tertentu dalam masalah ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang
sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an,
sumber keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan ide
agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang shaleh,
dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan (akidah) yang
benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan
bimbingan dalam rangka terciptanya cara yang layak bagi manusia dalam rangka
berhubungan dengan Tuhan.
Dari ide Al-Qur’an tersebut para pakar Muslim yang
tergolong ke dalam kelompok Mutakallimin, menciptakan dan mengembangkan sebuah
ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan
ilmu kalam.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah
merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi)
dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu
kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang
tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode
dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya
filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama
oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu
kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang
dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan
teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena
itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah,
kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam
yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk
menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap
ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam
sistem ajaran Islam.
Ibn Taimiyyah menuduh kaum Mutakallimin telah
mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushul al-din. Tuduhan ini erat
kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut
selain sebagai kalam, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushul
al-din itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam
berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Al-Qur’an mengajukan
bukti dalam bentuk berita (ikhbar) sederhana, peringatan (tanbih),
bimbingan (irsyad), dan dalam bentuk argumen-argumen rasional yang
bersifat badihi. Sehubungan dengan itu, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa
tidak seorang pun mendapat petunjuk kecuali orang-orang yang ditunjuki oleh
Tuhan dengan wahyunya.
Ibn Taimiyah setuju dengan sikap dan perlakuan kasar
Imam al-Syafi’I terhadap kalam dan Mutakallimin. Imam al-Syafi’i pernah
mengatakan bahwa ahl al-kalam haruslah disingkirkan dan dijadikan momok
karena mereka telah terbukti membawa hasil kerja nalar mereka, dan berbahaya
bagi umat.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup
ekstrim adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak memberikan
keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama
melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan
prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya
tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah
dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya
adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak
begitu keras mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah
berarti mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis dalam
kerja intelektual keagamaan mereka.
Sebenarnya kritik yang dilontarkan ulama-ulama tersebut
sebagaimana telah diungkapkan di atas, lebih tertuju kepada persoalan
metodologis yang dipergunakan oleh kaum Mutakallimin dalam merumuskan kalam
formal yang hasil bersihnya adalah berupa rumusan-rumusan mengenai ushul
al-din yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi kritik dan tawaran itu segera mendapat sanggahan
balik dari pihak pembela kalam (teologi). Di antara ahl-kalam yang
paling bersemangat menanggapi kritik-kritik terhadap ilmu kalam tersebut adalah
Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Pembelaan al-Asy’ari terhadap kaum kalam selain karena
ia terlibat dalam merumuskannya, juga karena teologi yang dikembangkannya tidak
terlepas dari sasaran kritik keras, terutama yang datang dari kaum Hanbaliah,
walaupun ia sendiri sebenarnya telah berusaha mendekatkan faham keagamaannya
kepada Hanbalisme.
Dalam penjelasannya, al-Asy’ari menganggap orang-orang
yang tidak menrima kehadiran ilmu kalam sebagai orang-orang yang menjadikan
kejahilan sebagai modal, dan oleh karena itulah mereka merasa berat untuk
melakukan pembahasan-pembahasan mengenai ushul al-din dengan menggunakan
metode rasional (al-nazhr).
Al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh
pengkritik kalam adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali.
Upayanya menolak tuduhan dan argumen-argumen mereka itu, al-Asy’ari sebagaimana
dikutip oleh al-Badawi mengemukakan tiga alasan penting.
1. Kalau
pengkritik kalam menganggap ilmu kalam yang diciptakan oleh kaum Mutakallimin
sebagai hasil perbuatan bid’ah dan menyesatkan, lantaran Nabi menurut
mereka tidak pernah menganjurkan untuk membahas ilmu seperti itu, maka
al-Asy’ari menolak dan membantah argumen ini dengan mengemukakan alasan: Nabi
pun tidak pula pernah berkata: “barang siapa yang membahas ilmu kalam,
Jadikanlah ia sebagai pembawa bid’ah dan kesesatan”.
2. Anggapan pengkritik
kalam bahwa persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah, menurut al-Asy’ari adalah anggapan yang keliru
sebab nyata sekali bahwa hal-hal yang dibahas di dalam ilmu kalam itu, demikian
al-Asy’ari berargumen, berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.
3. Seluruh
persoalan teologis yang dibahas oleh ulama-ulama kalam itu sebenarnya bukanlah
persoalan-persoalan yang tidak diketahui oleh Nabi. hanya saja dari masa Nabi
sampai kepada masa sahabat, meskipun persoalan-persoalan tersebut ada dasarnya
pada Al-Qur’an dan Sunnah, kebetulan tidak menjadi bahasan yang sistematis di
kalangan sahabat.
Demikianlah pembelaan al-Asy’ari terhadap ilmu kalam
yang pada prinsipnya merupakan sanggahan balik terhadap keberatan kaum Hanbaliah
terhadap disiplin ilmu tersebut.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar
merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang
ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya nalar tanpa
mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa kedua-duanya sama-sama berasal
dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa
setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan,
pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan
seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan
bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen
secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui
begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris.
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh
kaum Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa
tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan
aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang
terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang urgensi disiplin ilmu
kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang
bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan
pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi
pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar.
C.
Kontruksi Ilmu Kalam
Pemikiran kalam atau yang
juga lazim di sebut Falsafah Kalam mempunyai tempat yang cukup sentral dalam
bangunan pemikiran Islam klasik[8]. Sedemikian
urgennya, maka ilmu kalam menjadi tempat untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ke-Tuhan_an.
1.
Sumber Ilmu
Kalam
a.
Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam Al-Qur’an banyak
menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan ketuhanan
diantaranya: Q.S Al-ikhlas ayat 3-4;
öNs9
ô$Î#t
öNs9ur
ôs9qã
ÇÌÈ
öNs9ur
`ä3t
¼ã&©!
#·qàÿà2
7ymr&
ÇÍÈ
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia."
Ayat
ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak
satupun didunia ini tampak sejajar dengan –Nya. Sebagaimana juga dijelaskan dalam Q.S Ali-Imran ayat
84-85 ;
ö@è%
$¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé&
$uZøn=tã !$tBur tAÌRé&
#n?tã zNÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur Uqà)÷ètur ÅÞ$t7óF{$#ur
!$tBur uÎAré&
4ÓyqãB
4Ó|¤Ïãur cqÎ;¨Y9$#ur `ÏB öNÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB ß`óstRur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÑÍÈ
`tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
84.
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi
dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."
85. Barangsiapa mencari agama selain
agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Ayat ini menununjukkan bahwa tuhanlah ynag
menurunkan petunjuk jalan kepada para Nabi.
b.
Hadist
Hadist nabi Muhammad SAW juga banyak
membicarakan masalah-masalah dalam ilmu kalam diantaranya adalah penjelasan
tentang hakekat keimanan.
c.
Pemikiran manusia.
Bentuk konkrit pegguaan pemikiran islam
sebagai sumber ilmu kalam adlaah ijtihad. Ijtihat tersebut
dilakukan oleh para mutakallim dalam persoalan tertentu yang tidak dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan hadist. Hasil pemikiran
manusia tersebut akan berfungsi memperkuat kepercayaan terhadap keEsaan Allah.
d.
Insting.
Secara instingtif, manusia selalu ingin betuhan Abas Mahmoud
Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalang
orang-orang primitif. Insting ini muncul yakni karena obsesi manusia untuk mengenal penciptanya.
2.
Faktor-Faktor yang Mendorong Bedirinya Ilmu Kalam
Ahmad Ameen menerangkan bahwa factor-faktor
intern dalam hal berikutnya ilmu kalam meliputi:
a)
Sebagian orang musyrik ada yang
mentuhankan binatang-binatang sebagai sekutu Allah.
b)
Adanya orang-orang yang
mentuhankan Nabi Isa a.s
c)
Adanya orang-orang yang
menyembah berhala.
d)
Golongan yang tidak percaya
akan kerasulan Nabi, teristimewa Nabi Muhammad SAW dan tidak percaya akan
kehidupan kembali di akhirat.
3.
Sejarah
kemunculan persoalan-persoalan Islam.
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan
Islam, dipicu oleh persolan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman
bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kala yang pertama kali
muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti
siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Persoala ini telah menimbulkan tiga aliran
teologi dalam Islam, yaitu:
a)
Aliran khawarij.
Aliran khawarij menegskan bahwa orang yang
berdosa besar
adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau murtad dan harus dibunuh. Yang memiliki argumentasi dengan ayatnya yaitu
Qs. An-Nisa: 100 ;
* `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y
«!$#
ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB
#ZÏWx. Zpyèyur 4
`tBur ólãøs .`ÏB
¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB
n<Î) «!$#
¾Ï&Î!qßuur §NèO
çmø.Íôã
ßNöqpRùQ$#
ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$#
3
tb%x.ur
ª!$#
#Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÉÉÈ
100. Barangsiapa berhijrah di jalan
Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan
rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Mungkin menganggap dirinya
[kwarij] sebagai orang yang pergi meninggalkan rumahnya. Dengan tujuan untuk
dapat mengabdikan diri kepada Allah SWT dan rasulNya[10].
b)
Aliran murja’ah [Murji’ah]
Aliran murja’ah menegaskan bahwa orang yang
melakuakan dosa besar termasuk mukmin. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal
itu dikembalikan kepada Alloh. Alasan
murjiah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berdosa besar tetap
mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad saw utusan Allah swt.[11]
c)
Aliran mu’tazilah.
Aliran mu’tazilah menegaskan bahwa golongan
ini tidak memerima kedua pendapat diatas tetapi mereka mengambil posisi antara
mukmin dan kafir. Aliran mu’tazilah yang bercorak rasioanal mendapat tantangan keras
dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali. Mereka yang
menantang hal ini kemudian mengambil bentuk aliran tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari. Dan sebuah aliran yang dipelopori oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi yang dikenal
dengan teologi Al-Maturidiyah.
Aliran khawarij, murja’ah, dan mu’tazilah
tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai
sekarang adalah aliran asy’ariyah dan maturidiyah yang keduanya disebut Aswaja.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Kalam, diakses pada tanggal 11 Oktober 2012 pada pukul 10.15 WIB.
[3] http://skyaddictshozza.blogspot.com/2012/04/hubungan-ilmu-kalam-tassawuf-dan.html, diakses pada
tanggal 11 Oktober 2012 pukul 11.46 WIB.
[4] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html, diakses pada tanggal 11 Oktober
2012 pada pukul 10.24 WIB.
[8] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, cet. 3, 2004), hal v.
[9] http://efrizal93.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-ruang-lingku-ilmu-kalam.html#!/2012/03/pengertian-dan-ruang-lingku-ilmu-kalam.html, diakses pada
tanggal 20 Oktober 2012.
Komentar
Posting Komentar