Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi


URGENSI DAN KONTRUKSI ILMU KALAM DALAM STUDI
Oleh : Wikan Yustafa

A.    Pengertian Ilmu kalam
Ilmu kalām (bahasa Arab: علم الكلام) adalah disiplin filsafat mencari prinsip-prinsip teologi Islam melalui dialektika. Dalam bahasa Arab perkataan ini secara harfiah bermakna "kata-kata". Seorang cendekiawan kalam digelari sebagai seorang mutakallim (ahli teologi Islam; jamak mutakallimiin). Terdapat banyak tafsiran mengapa disiplin ini digelar "kalam"; salah satu alasannya adalah kontroversi terbesar dalam bidang ini berkaitan dengan Firman Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, bisa dianggap sebagai bagian dari esensi Tuhan dan karena itu tidak diciptakan, atau apakah itu dibuat menjadi kata-kata dalam arti normal berbicara, dan karena itu dibuat[1]. Dengan demikian aspek pokok dalam ilmu Tauhid atau ilmu kalam adalah masalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah yang Maha Sempurna, Maha Kuasa dan kesempurnaan yang lainnya.[2]
Di sisi lain juga ditegaskan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas persoalan Tuhan atau membincangkan Tuhan. 
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan persoalan kalam Tuhan dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional atau aqliyah (berpikir filosofis) maupun naqliyah (dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits). Ilmu kalam atau ushuluddin atau aqidah atau teologi membahas masalah ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan, tentang keimanan, serta kufur dengan menggunakan argumentasi logika. Berbicara Siapa yang sebenarnya muslim dan masih tetap dalam islam, siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari islam, bagaimana dengan muslim yang mengerjakan hal haram dan kafir yang mengerjakan hal baik. Empat masalah pokok dalam ilmu kalam yaitu mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan serta mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan.[3]

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam[4]. Oleh  karena itu maka kajian ilmu kalam sangat penting dalam kerangka pemahaman teologis.
Karena ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam[5].

Karena beberapa hal yang berkaitan dengan ilmu kalam yang memiliki corak keilmuan dan juga pembahasan yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lainnya, maka ilmu kalam dalam berbagai pandangan para ilmuan muslim menyebutnya dengan berbagai nama, sebagaimana yang ada dibawah ini :
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yaitu Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tauhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama).[6]

Berkaitan dengan penyebutan lain nama ilmu kalam tersebut maka yang jelas bahwa ilmu kalam menunjukkan arti dirinya sebagai ilmu yang membahas tentang kaitannya dengan persoalan-persoalan atau sendi-sendi dan bahkan seluruh aspek-aspek yang mendasar berkaitan dangan Tuhan “ALLAH swt” dan sebagainya dengan berbagai metodologi yang dipahami masing-masing dalam penyebutan nama lain dari ilmu kalam. Dengan demikian dalam hal ini sangatlah jelas bahwa ilmu kalam memiliki corak dan metode tersendiri dan berbeda dengan keilmuan lainnya.




B.     Urgensi Ilmu kalam
Alasan  secara terperinci, Prof. Dr. TM. Hasby Ash-Syiddieqy meyebutkan alasan ilmu kalam ini disebut ilmu kalam, yaitu[7] :
1.    Problema yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah kedalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an.
2.    Materi-materi ilmu ini adalah teori-teori [kalam]; tidak ada yang diwujudkan kedalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.
3.    Ilmu ini, didalam menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq.
4.    Ulama-ulama mutaakhirin membicarakan didalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama’ salaf seperti penakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang qada, kalam dan lainnya.

Melihat pendapat diatas maka ajaran Islam menuntut agar setiap muslim mempunyai keyakinan (akidah) tertentu dalam masalah ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, sumber keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan ide agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang shaleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan (akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan bimbingan dalam rangka terciptanya cara yang layak bagi manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhan.
Dari ide Al-Qur’an tersebut para pakar Muslim yang tergolong ke dalam kelompok Mutakallimin, menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu kalam.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran Islam.
Ibn Taimiyyah menuduh kaum Mutakallimin telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushul al-din. Tuduhan ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalam, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushul al-din itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Al-Qur’an mengajukan bukti dalam bentuk berita (ikhbar) sederhana, peringatan (tanbih), bimbingan (irsyad), dan dalam bentuk argumen-argumen rasional yang bersifat badihi. Sehubungan dengan itu, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa tidak seorang pun mendapat petunjuk kecuali orang-orang yang ditunjuki oleh Tuhan dengan wahyunya.
Ibn Taimiyah setuju dengan sikap dan perlakuan kasar Imam al-Syafi’I terhadap kalam dan Mutakallimin. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan bahwa ahl al-kalam haruslah disingkirkan dan dijadikan momok karena mereka telah terbukti membawa hasil kerja nalar mereka, dan berbahaya bagi umat.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak begitu keras mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah berarti mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis dalam kerja intelektual keagamaan mereka.
Sebenarnya kritik yang dilontarkan ulama-ulama tersebut sebagaimana telah diungkapkan di atas, lebih tertuju kepada persoalan metodologis yang dipergunakan oleh kaum Mutakallimin dalam merumuskan kalam formal yang hasil bersihnya adalah berupa rumusan-rumusan mengenai ushul al-din yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi kritik dan tawaran itu segera mendapat sanggahan balik dari pihak pembela kalam (teologi). Di antara ahl-kalam yang paling bersemangat menanggapi kritik-kritik terhadap ilmu kalam tersebut adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Pembelaan al-Asy’ari terhadap kaum kalam selain karena ia terlibat dalam merumuskannya, juga karena teologi yang dikembangkannya tidak terlepas dari sasaran kritik keras, terutama yang datang dari kaum Hanbaliah, walaupun ia sendiri sebenarnya telah berusaha mendekatkan faham keagamaannya kepada Hanbalisme.
Dalam penjelasannya, al-Asy’ari menganggap orang-orang yang tidak menrima kehadiran ilmu kalam sebagai orang-orang yang menjadikan kejahilan sebagai modal, dan oleh karena itulah mereka merasa berat untuk melakukan pembahasan-pembahasan mengenai ushul al-din dengan menggunakan metode rasional (al-nazhr).
Al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalam adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Upayanya menolak tuduhan dan argumen-argumen mereka itu, al-Asy’ari sebagaimana dikutip oleh al-Badawi mengemukakan tiga alasan penting.
1.   Kalau pengkritik kalam menganggap ilmu kalam yang diciptakan oleh kaum Mutakallimin sebagai hasil perbuatan bid’ah dan menyesatkan, lantaran Nabi menurut mereka tidak pernah menganjurkan untuk membahas ilmu seperti itu, maka al-Asy’ari menolak dan membantah argumen ini dengan mengemukakan alasan: Nabi pun tidak pula pernah berkata: “barang siapa yang membahas ilmu kalam, Jadikanlah ia sebagai pembawa bid’ah dan kesesatan”.
2.   Anggapan pengkritik kalam bahwa persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, menurut al-Asy’ari adalah anggapan yang keliru sebab nyata sekali bahwa hal-hal yang dibahas di dalam ilmu kalam itu, demikian al-Asy’ari berargumen, berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.
3.   Seluruh persoalan teologis yang dibahas oleh ulama-ulama kalam itu sebenarnya bukanlah persoalan-persoalan yang tidak diketahui oleh Nabi. hanya saja dari masa Nabi sampai kepada masa sahabat, meskipun persoalan-persoalan tersebut ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah, kebetulan tidak menjadi bahasan yang sistematis di kalangan sahabat.
Demikianlah pembelaan al-Asy’ari terhadap ilmu kalam yang pada prinsipnya merupakan sanggahan balik terhadap keberatan kaum Hanbaliah terhadap disiplin ilmu tersebut.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya nalar tanpa mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa kedua-duanya sama-sama berasal dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh  harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris.
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang urgensi disiplin ilmu kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar.

C.    Kontruksi Ilmu Kalam
Pemikiran kalam atau yang juga lazim di sebut Falsafah Kalam mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan pemikiran Islam klasik[8]. Sedemikian urgennya, maka ilmu kalam menjadi tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ke-Tuhan_an. 
1.       Sumber Ilmu Kalam
Dengan demikian maka sumber-sumber ilmu kalam meliputi[9] :
a.       Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan ketuhanan diantaranya: Q.S Al-ikhlas ayat 3-4;
öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
3.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

 Ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak satupun didunia ini tampak sejajar dengan –Nya. Sebagaimana juga dijelaskan dalam Q.S Ali-Imran ayat 84-85 ;
ö@è% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøŠn=tã !$tBur tAÌRé& #n?tã zNŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur šUqà)÷ètƒur ÅÞ$t7óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤ŠÏãur šcqŠÎ;¨Y9$#ur `ÏB öNÎgÎn/§ Ÿw ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB ß`óstRur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÑÍÈ `tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
84.  Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."
85.  Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Ayat ini menununjukkan bahwa tuhanlah ynag menurunkan petunjuk jalan kepada para Nabi.
b.      Hadist
Hadist nabi Muhammad SAW juga banyak membicarakan masalah-masalah dalam ilmu kalam diantaranya adalah penjelasan tentang hakekat keimanan.
c.       Pemikiran manusia.
Bentuk konkrit pegguaan pemikiran islam sebagai sumber ilmu kalam adlaah ijtihad. Ijtihat tersebut dilakukan oleh para mutakallim dalam persoalan tertentu yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist.  Hasil pemikiran manusia tersebut akan berfungsi memperkuat kepercayaan terhadap keEsaan Allah.
d.      Insting.
Secara instingtif,  manusia selalu ingin betuhan Abas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalang orang-orang primitif. Insting ini muncul yakni karena obsesi manusia untuk mengenal penciptanya.
2.       Faktor-Faktor yang Mendorong Bedirinya Ilmu Kalam
Ahmad Ameen menerangkan bahwa factor-faktor intern dalam hal berikutnya ilmu kalam meliputi:
a)        Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan binatang-binatang sebagai sekutu Allah.
b)        Adanya orang-orang yang mentuhankan Nabi Isa a.s
c)        Adanya orang-orang yang menyembah berhala.
d)       Golongan yang tidak percaya akan kerasulan Nabi, teristimewa Nabi Muhammad SAW dan tidak percaya akan kehidupan kembali di akhirat.
3.       Sejarah kemunculan persoalan-persoalan Islam.
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan Islam, dipicu oleh persolan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kala yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Persoala ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
a)         Aliran khawarij.
Aliran khawarij menegskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau murtad dan harus dibunuh. Yang memiliki argumentasi dengan ayatnya yaitu Qs. An-Nisa: 100 ;
* `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZŽÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøƒs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.ÍôムßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊÉÉÈ

100.  Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Mungkin menganggap dirinya [kwarij] sebagai orang yang pergi meninggalkan rumahnya. Dengan tujuan untuk dapat mengabdikan diri kepada Allah SWT dan rasulNya[10]. 
b)        Aliran murja’ah [Murji’ah]
Aliran murja’ah menegaskan bahwa orang yang melakuakan dosa besar termasuk mukmin. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu dikembalikan kepada Alloh. Alasan murjiah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berdosa besar tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad saw utusan Allah swt.[11]
c)         Aliran mu’tazilah.
Aliran mu’tazilah menegaskan bahwa golongan ini tidak memerima kedua pendapat diatas tetapi mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir. Aliran mu’tazilah yang bercorak rasioanal mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali. Mereka yang menantang hal ini kemudian mengambil bentuk aliran tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Dan sebuah aliran yang dipelopori oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi yang dikenal dengan teologi Al-Maturidiyah.
Aliran khawarij, murja’ah, dan mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran asy’ariyah dan maturidiyah yang keduanya disebut Aswaja.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Kalam, diakses pada tanggal 11 Oktober 2012  pada pukul 10.15 WIB. 
[2] Muhammad Ahmad,  Tauhid –Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia), hal.,9.
[3] http://skyaddictshozza.blogspot.com/2012/04/hubungan-ilmu-kalam-tassawuf-dan.html, diakses pada tanggal 11 Oktober 2012 pukul 11.46 WIB.
[4] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html, diakses pada tanggal 11 Oktober 2012  pada pukul 10.24 WIB.
[5] Ibid., Muhammad Ahmad,  Tauhid –Ilmu Kalam,...
[7] Ibid., Muhammad Ahmad,  Tauhid –Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia), hal.,10.
[8] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, cet. 3, 2004), hal v.
[10] Ibid., Muhammad Ahmad,  Tauhid –Ilmu Kalam, 151.
[11] Ibid., Muhammad Ahmad,  Tauhid –Ilmu Kalam, 159.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia dalam pandangan kejawen

Proposal isra' mi'raj