Manusia dalam pandangan kejawen
MANUSIA MENURUT
ISLAM DALAM PEMAHAMAN KEJAWEN
Oleh : Wikan Yustafa
A. KEJAWEN DALAM SEJARAH JAWA
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul
atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa
zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa
juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek
kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo
memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam Islam
berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit,
dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat),
cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya
di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling
dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi
mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala
keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa
serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat
ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh
dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan
Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya", isi ini tak
lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali
selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit
melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para
penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk
masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali
juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga
adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu
ajaran Islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu
lagu. Sebagian arti yang kini
banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten
anyar : Ini adalah sebuah
diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing
kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia
sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi).
Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima
segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun Islam (yang
lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak
mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun Islam dan salat lima waktu) ,dan
memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore,
untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar
kalangane : Selagi masih
banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk
beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu
ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah
dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing
bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana, hingga
megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang
manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai
lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar.
Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah,
sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya
adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana.
Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat
berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang.
Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu
dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih,
mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik
dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk
didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha
diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan
agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan,
karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan
budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan
sesuatu yang lebih baik, seperti ajaran agama Islam . Sistem politik Aja
Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para sunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat
dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan
teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda
atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra, Dahana
dan Bhumi.
1) Surya (Matahari) memancarkan sinar terang
sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya
hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2) Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar
ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat
kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3) Kartika (Bintang), memancarkan sinar
kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga
seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4) Angkasa (Langit), luas tak terbatas,
hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin
hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam
menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5) Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana
tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang
pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da
martabatnya.
6) Samudra (Laut/air), betapapun luasnya,
permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya
bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7) Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar
semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan
berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8) Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan
murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya
bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan
rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada
beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya
dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup
tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja
kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu
terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat
sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan
tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi
seorang pemimpin. Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan
emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga
ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif
dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk
mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja
ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar
tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan
pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan,
walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini
tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik
atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara,
demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada
umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan, menggurui dan
mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang
lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar
kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang
menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik
adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan
dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya
harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat
menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika
seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh
orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, sebenarnya
mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak
jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang
mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal, dan itu baru dilihat
dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi
tingkah laku dan psikologi seseorang.
B.
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KEJAWEN
1.
Hubungan manusia dengan
Tuhan
Dalam
wirid Hidayat Djati oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito menyebutkan kedudukan
manusia sebagai berikut :
a.
Wisikan ananing Dzat .
Sejatine ora ana apa-apa, awit duk
maksih wang-awung during ana sewiji-wiji, kang ana dingan Ingsun, ora ana
pangeran, aming Ingsun sejatine Dzat kang Amaha Suci, angliputi ing sipat
ingsun anartani ing Asmaningsun, amartandani ing apngal Ingsun.
b.
Peparang wahananing Dzat.
Sejatining
Ingsung dzat kang murba amasisa, kang kuasa anitahake sawiji-wiji, dadi pada
sanalika, sampurna saka ing kodrat Ingsun, ing kono wus kenyataan pratandaning
apgal Ingsun, kang dingin Ingsun, anitahake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh
ing sajroning ngalam ngadam maksum ajali abadi. Nuli cahya aran nur Muhammad,
nuli kaca aran mir-atul-kaya-I, nulu nyawa, aran rah ilapi, nuli dammar, aran
kendil, nuli permata, aran dzarrah, nuli dingin aran kitab kang minongko
kadlarat Ingsun.
c.
Gelaran kahananing Dzat.
Sejatining
menungso iku rasaningsun, lan Ingsun iki rasaning menungso, karana Ingsun
anitihake adam, asal saka ing anasir patang prakara :
1)
Bumi
2)
Geni
3)
Angin
4)
Banyu
Iku dudu kawujudane sipat
Ingsun, ing kono Ingsun panjingin mudarah limang prakara :
1)
Nur (tegesipun cahaya, dumunung
sajawininggesang).
2)
Rasa (tegesipun sir utawirahsa
dumunung sajawining cahya).
3)
Roh (tegesipun nyawa, dipun
wastani sukma, dumunung sajawining rahsa).
4)
Napsu (tegesipun angkara,
dumunung sajawining sukma).
5)
Budi (tegesipun ngakal,
dumunung sajawining napsu)[1].
Iyo iku
minongko warnaning wajah Ingsun, Kang Maha Suci.
d.
Pembukaning
tata maliga ing dalem betal Makmur.
Sejatining ingsun anata malige ana sajroning betal
makmur, iku omah enggoning parameyang Ingsun, jumeneng ana ing sirahe Adam,
kang ana sajroning sirah iku dimak, iyo iku utek, kang ana ing antaraning utek
iku manik, sajroning manik iku budi, sak jroning budi iku jinem, iyo iku
angen-angen, sajroning angen-angen iku sukma, sajroning sukma iku rahsa,
sajroning rahsa iku Ingsun, ora ona Pangeran, amung Ingsun Dzat kang angliputi
kananjati.
e.
Pembukaning
tata malige ing dalem betal Muharam.
Sejatining ingsun anata malige ana sajroning betal
muharam, iku omah enggoning lelarangan Ingsun, jumening ing dhadane Adam, kang
sajroning dhada iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning
jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iyo iku angen-angen, sajroning
angen-angen iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun,
ora ana Pangeran, amung Ingsun Dzat kang angliputi kananjati.
f.
Pembukaning malige ing dalem betal Muhadas.
Sejatining Ingsun anata sajroning betal muhadas,
iku omah enggoning pasucen Ingsun, jumeneng Ing kontholing Adam, kang sajroning
khontol iku pringsilan, kang ana ing antaraning pringsilan iku nutfah, iyo iku
mani, sajrining mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku
manikem, sajroning manikem iku rahsa[2].
Sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana pangeran, ananing ingsun Dzat kang
angliputi ing kahananjati, jumeneng nukat ghaib, tumurun dadi johar awal, ing
kono ananing ngalam ahadiyat, dadining manungsokang sampurna iyo iku sejatining
sipat Ingsun.
g.
Penetap
iman, inggih punikao ingkas dados santosaning iman Ingsun anekseni, setuhune
ora ono pangeran, anging Ingsun, lan nakseni Ingsun, setuhune Muhammad iku
utusan Ingsun.
h.
Sasahidan.
Ingsun anekseni, ing Dzat Ingsun dewe, setuhune
ora ana Dzat pangeran, amung Ingsun, lan nekseni Ingsun, setuhune Muhammad iku
utusan Ingsun, iya sejatine kang aran Allah iku badan Ingsun, rasull rahsa
Ingsun, Muhammad iku cahya ingsun, iyo Ingsun lan urip tanpa keno pati, iya
ingsun kang eling tan keno lali, iyo Ingsun kanglanggengora keno owah gingsir
ing kahanan jati, iyo Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sewiji-wiji, iyo
Ingsun kang Amurbawasesa, kang kuwasa wicaksona ora kekurangan ing pakerti,
byar; sampurna padang terawang, ora kerasa apa-apa, ora ona katon apa-apa, mung
Ingsun kang ngeliputi ing ngalam kabeh, kelawan kkodart Ingsun.
Wejangan selanjutnya dari wirid hidayat jati
adalah ajaran bagaimana menyatukan Tuhan dengan manusia ”dados sepangkat” dalam
ari menyetarakan dengan manusia yang dikenal dengan istilah ”manunggaling kawula
gusti” sebagai berikut :
1)
Sebelum
adanya segala sesuatu, yang paling dahulu adanya adalahTuhan (disebut sebagai
Ingsun), Dia_lah yang maha suci, baik sifat, asma maupun af’alNya.
2)
Dengan
kemahakuasaanNya terbuktilah dengan af’alnya terjadi sesuatu dengan seketika,
dijadikanNya; sajratul yakin, nur Muhammad, mir’atul haya’i, ruh idlafi,
kandil, dzarah, dan hijab.
3)
Manusia
dengan Tuhan adalah satu rasa atau satu sifat, karena jasad manusia (adam)
terdiri dari empat anasir : tanah, api, angin, dan air. Sedangkan ruhaninya
terdiri dari lima anasir : Nur, rasa, sukma, napsu dan budi.
4)
Manusia
memiliki dua dimensi yaitu dimendi alam arwah dan dimensi alam ajsam (fisik).
Tuhan menyatu dengan manusia diberbagai anggota tubuh yang memusat pada tiga
bagian utama yang disebut malige (mahligai). Mahligai tersebut adalah :
a)
Betal
makmur; Tuhan bermahligai dikepala manusia, disan berkumpul unsur-unsur ”darah,
otak, manik, budi, napsu, sukma dan rasa.
b)
Betal
muharam; Tuhan bermahligai didada manusia, disana berkumpul unsur-unsur ”hati,
jantung, budi, angan-angan, sukma dan rasa.
c)
Betal
muhadas; Tuhan bermahligai dikemaluan manusia, disan berkumpul unsur-unsur
”buah dzakar, mani, madzi, wadi, manikem dan rasa.
5)
Ajaran
pemantap keimanan dengan dua kalimat syahadat.
2.
Hal Permintaan dan do’a.
Dalam berdo’a maka orang kejawen mengunakan
gabubungan antara ajaran hindhu atau budha dengan ajaran Islam, yaitu dengan
menyebut yang diawali atau diakhiri dan sebaliknya secara Islam. Misalnya :
a.
Do’a
untuk mendatangkan rizki atau mahabah.
Bismillahirrohmanirrohim
Geni, angin, banyu, bumi,
nur hak wesi
Opo sejane golek rezki
Paringono torah blawah kersane Allah
Laillaha illallah teko wales teko asih, asiho marang badan iro.
b.
Do’a
braja musti, kekuatan pukulan.
Bismillahirrohmanirrohim, Allahu akbar
Nur arah nur wantah
Rubuh luntuh ketiban palune guti Allah
Ojo pisan-pisan tangi yen durung tak gugah nganggo tanganku kiwo
La illaha illallah muhammadur rasulullah[3].
C. ALIRAN KEJAWEN
1.
Aliran
Akomodatif
Hubungan antara manusia dengan Tuhan, tradis jawa
mengakomodasi berbagai unsur kepercayaan sejak animisme hingga modern. Do’a
yang dibaca adalah do’a Islam akan tetapi yang di do’akan adalah keselamatan
industri modern ditepi laut, dan kelengkapannya sedekah laut.
2.
Aliran
Sinkretisme
Dalam pustaka kejawen manusia mempunyai watak yang
sinkretis dimana orang tidak perlu mempersoalkan tentang benar atau salahnya
suatu agama. Penganut paham sinkretis diman orang tidakperlu mempersoalkan
tentang benar atau salahya suatu agama. Penganut sinkretis memandang bahwa semua agama adalah benar dan baik. Dengan
demikian ada kecenderungan untuk memadukan dari berbagai agama yang pada
dasarnya berbeda, bahkan berlawanan, yang penting bagi mereka adalah kenikmatan
rasa dan kebahagiaan batin.
Dalam kepustakaan Islam kejawen dinyatakan bahwa
orang yang dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan digambarkan sebagai seorang
insan kamil, yaitu bagaikan orang sakti dan berkuasa laksana Tuhan dimana ”kan
cinipta dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka saka permaning kang
kawasa”;dalam arti apapun yang diinginkan akan terlaksana dalam kenyataan.
D.
AJARAN ISLAM KEJAWEN
1.
Tri sila
a)
Eling
b)
Pracaya (piyandel)
c)
Mituhu
2.
Watak keutamaan pancasila
a)
Rilo
b)
Nerimo
c)
Temen
d)
Sabar
e)
Budiluhur
3.
Pepali
a)
Ojo menembah marang saliyane
Allah
b)
Dingati-ngati bab sahwat
c) Ojo memangan utowo migunakake pangan kang
anggampangake rusaking raga.
d) Padho angestokno angger-anggering praja
lan pranatane.
e) Ojo padha cecongkrahan.
4. Petang kejawen
Setiap hal yang dianggap penting orang
kejawen selalu mengunakan perhitungan yang istilahnya disebut ”petang kejawen”,
misalnya :
a) Duduk ris petanganipun; bumi, jalmo, wono,
pralaya.
b) Ngedekakaen griyo petanganipun; kerta,
yasa, candi, rogoh, sempoyong.
c) Boyongan petanganipun; sri, dadi,
pangkalan, wurung.
d) Buka usaka petanganipun; sandang, pangan,
loro, mati.
e) Tetukonan barang utawo bibit petanganipun;
sri, kitri, gono, liyeh, pokah.
f) Tiyang sakit; bejo, banyu, petak, tangis.
g) Tetandur petanganipun; oyod, wid, godong,
uwah.
h) Kekesahan petanganipun; kliyek, menthek,
joyo, kemil.
i) Tumbas kewan petanganipun; suku, watu, gajah,
sungu.
j) Ngimpi petanganipu; titi, yono, puspo,
tajem.
k) Sedo petanganipun; gunung, guntur, seguro
asat.
l) Manten petanganipun; pegat, jodo, wayuh.
m) Tingkep bayi petanganipun; banyo, bati,
pati[4].
5. Wewarah
Wewarah merupkan pelajaran dan tuntunan
hidup manusia kejawen, yang meliputi:
a) Landasan diplomasi.
1) Sugih tanpo bondho
2) Perang tanpo bolo
3) Menang tanpo ngalahake
4) Weweh tanpa kelangan
b) Landasan pribadi.
1) Sabar
2) Sareh
3) Saleh
c) Landasan pemimpin.
1) Sipat ratu
2) Sipat pendhito
3) Sipat petani
d) Landasan penguasa.
1) Aja gumunan
2) Aja kagetan
3) Aja dumeh
e) Landasan ksatria sejati.
1) Aja adigang
2) Aja adigung
3) Aja adiguno
f) Landasan pergaulan.
1) Ora golek konco lan ora golek rewang, sing
digoleki kebecikan sejatining becik, konco biso pisah,rewang duwe pamrih,
kebecikan sejatining becik iku becik.
g) Landasan payembah.
1) Eling marang pangeran kang gawe urip. Pada
persoalan ini maka ada filsafat kejawen yang menyatakan; ”sak bejo-bejoning
wong kang lali isih bejo wongkang eling”.
2) Percaya marang gusti kang murbeng dumadi.
3) Mituhu marang sekabehing dawuhing Allah.
h) Landasan pengabdian.
1) Rumongso melu handharbeni.
2) Rumongso melu hangrungkebi.
i) Landasan jejodhohan.
1)
Ayu
2)
Ayom
3)
Ayem
4)
Ayam
[1] Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, Ataasadur Adamakna
(Soemodidjojo Maha Dewa, Nhayugyakarta Hadiningrat, 1990) hal., 30.
[2]
Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, Ataasadur Adamakna…..hal. 18.
[3]
Mahfud sya’rono, Silahul Mu’min (Surabaya: Ampel Suci, tt) hal. 33.
[4] Yayasan Para Psikologi Semesta, Universal Para
Psykologi (Ponorogo, 2006).
[5] Diambil dari tulisan Presiden Suharto di pendopo
Mataram proyek miniature Indonesia indah di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar