Manusia dalam pandangan kejawen



MANUSIA MENURUT ISLAM DALAM PEMAHAMAN KEJAWEN
Oleh : Wikan Yustafa

A.  KEJAWEN DALAM SEJARAH JAWA
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya", isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran Islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun Islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun Islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana, hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik, seperti ajaran agama Islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para sunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra, Dahana dan Bhumi.
1)   Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2)   Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3)   Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4)   Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5)   Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6)   Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7)   Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8)   Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin. Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan, menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal, dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.

B.  MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KEJAWEN
1.    Hubungan manusia dengan Tuhan
Dalam wirid Hidayat Djati oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito menyebutkan kedudukan manusia sebagai berikut :
a.    Wisikan ananing Dzat .
            Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih wang-awung during ana sewiji-wiji, kang ana dingan Ingsun, ora ana pangeran, aming Ingsun sejatine Dzat kang Amaha Suci, angliputi ing sipat ingsun anartani ing Asmaningsun, amartandani ing apngal Ingsun.

b.    Peparang wahananing Dzat.
Sejatining Ingsung dzat kang murba amasisa, kang kuasa anitahake sawiji-wiji, dadi pada sanalika, sampurna saka ing kodrat Ingsun, ing kono wus kenyataan pratandaning apgal Ingsun, kang dingin Ingsun, anitahake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh ing sajroning ngalam ngadam maksum ajali abadi. Nuli cahya aran nur Muhammad, nuli kaca aran mir-atul-kaya-I, nulu nyawa, aran rah ilapi, nuli dammar, aran kendil, nuli permata, aran dzarrah, nuli dingin aran kitab kang minongko kadlarat Ingsun. 
c.    Gelaran kahananing Dzat.
Sejatining menungso iku rasaningsun, lan Ingsun iki rasaning menungso, karana Ingsun anitihake adam, asal saka ing anasir patang prakara :
1)   Bumi
2)   Geni
3)   Angin
4)   Banyu
Iku dudu kawujudane sipat Ingsun, ing kono Ingsun panjingin mudarah limang prakara :
1)   Nur (tegesipun cahaya, dumunung sajawininggesang).
2)   Rasa (tegesipun sir utawirahsa dumunung sajawining cahya).
3)   Roh (tegesipun nyawa, dipun wastani sukma, dumunung sajawining rahsa).
4)   Napsu (tegesipun angkara, dumunung sajawining sukma).
5)   Budi (tegesipun ngakal, dumunung sajawining napsu)[1].
Iyo iku minongko warnaning wajah Ingsun, Kang Maha Suci.
d.   Pembukaning tata maliga ing dalem betal Makmur.
Sejatining ingsun anata malige ana sajroning betal makmur, iku omah enggoning parameyang Ingsun, jumeneng ana ing sirahe Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iyo iku utek, kang ana ing antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sak jroning budi iku jinem, iyo iku angen-angen, sajroning angen-angen iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ona Pangeran, amung Ingsun Dzat kang angliputi kananjati. 
e.    Pembukaning tata malige ing dalem betal Muharam.
Sejatining ingsun anata malige ana sajroning betal muharam, iku omah enggoning lelarangan Ingsun, jumening ing dhadane Adam, kang sajroning dhada iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iyo iku angen-angen, sajroning angen-angen iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, amung Ingsun Dzat kang angliputi kananjati. 
f.       Pembukaning malige ing dalem betal Muhadas.
Sejatining Ingsun anata sajroning betal muhadas, iku omah enggoning pasucen Ingsun, jumeneng Ing kontholing Adam, kang sajroning khontol iku pringsilan, kang ana ing antaraning pringsilan iku nutfah, iyo iku mani, sajrining mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa[2]. Sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana pangeran, ananing ingsun Dzat kang angliputi ing kahananjati, jumeneng nukat ghaib, tumurun dadi johar awal, ing kono ananing ngalam ahadiyat, dadining manungsokang sampurna iyo iku sejatining sipat Ingsun.  
g.    Penetap iman, inggih punikao ingkas dados santosaning iman Ingsun anekseni, setuhune ora ono pangeran, anging Ingsun, lan nakseni Ingsun, setuhune Muhammad iku utusan Ingsun.
h.    Sasahidan.
Ingsun anekseni, ing Dzat Ingsun dewe, setuhune ora ana Dzat pangeran, amung Ingsun, lan nekseni Ingsun, setuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sejatine kang aran Allah iku badan Ingsun, rasull rahsa Ingsun, Muhammad iku cahya ingsun, iyo Ingsun lan urip tanpa keno pati, iya ingsun kang eling tan keno lali, iyo Ingsun kanglanggengora keno owah gingsir ing kahanan jati, iyo Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sewiji-wiji, iyo Ingsun kang Amurbawasesa, kang kuwasa wicaksona ora kekurangan ing pakerti, byar; sampurna padang terawang, ora kerasa apa-apa, ora ona katon apa-apa, mung Ingsun kang ngeliputi ing ngalam kabeh, kelawan kkodart Ingsun.
Wejangan selanjutnya dari wirid hidayat jati adalah ajaran bagaimana menyatukan Tuhan dengan manusia ”dados sepangkat” dalam ari menyetarakan dengan manusia yang dikenal dengan istilah ”manunggaling kawula gusti” sebagai berikut :
1)   Sebelum adanya segala sesuatu, yang paling dahulu adanya adalahTuhan (disebut sebagai Ingsun), Dia_lah yang maha suci, baik sifat, asma maupun af’alNya.
2)   Dengan kemahakuasaanNya terbuktilah dengan af’alnya terjadi sesuatu dengan seketika, dijadikanNya; sajratul yakin, nur Muhammad, mir’atul haya’i, ruh idlafi, kandil, dzarah, dan hijab.
3)   Manusia dengan Tuhan adalah satu rasa atau satu sifat, karena jasad manusia (adam) terdiri dari empat anasir : tanah, api, angin, dan air. Sedangkan ruhaninya terdiri dari lima anasir : Nur, rasa, sukma, napsu dan budi.
4)   Manusia memiliki dua dimensi yaitu dimendi alam arwah dan dimensi alam ajsam (fisik). Tuhan menyatu dengan manusia diberbagai anggota tubuh yang memusat pada tiga bagian utama yang disebut malige (mahligai). Mahligai tersebut adalah :
a)    Betal makmur; Tuhan bermahligai dikepala manusia, disan berkumpul unsur-unsur ”darah, otak, manik, budi, napsu, sukma dan rasa.
b)   Betal muharam; Tuhan bermahligai didada manusia, disana berkumpul unsur-unsur ”hati, jantung, budi, angan-angan, sukma dan rasa.
c)    Betal muhadas; Tuhan bermahligai dikemaluan manusia, disan berkumpul unsur-unsur ”buah dzakar, mani, madzi, wadi, manikem dan rasa.
5)   Ajaran pemantap keimanan dengan dua kalimat syahadat.    
2.    Hal Permintaan dan do’a.
Dalam berdo’a maka orang kejawen mengunakan gabubungan antara ajaran hindhu atau budha dengan ajaran Islam, yaitu dengan menyebut yang diawali atau diakhiri dan sebaliknya secara Islam. Misalnya :
a.    Do’a untuk mendatangkan rizki atau mahabah.
Bismillahirrohmanirrohim
Geni, angin, banyu, bumi, nur hak wesi
Opo sejane golek rezki
Paringono torah blawah kersane Allah
Laillaha illallah teko wales teko asih, asiho marang badan iro.
b.    Do’a braja musti, kekuatan pukulan.
Bismillahirrohmanirrohim, Allahu akbar
Nur arah nur wantah
Rubuh luntuh ketiban palune guti Allah
Ojo pisan-pisan tangi yen durung tak gugah nganggo tanganku kiwo
La illaha illallah muhammadur rasulullah[3].

C.  ALIRAN  KEJAWEN
1.    Aliran Akomodatif
Hubungan antara manusia dengan Tuhan, tradis jawa mengakomodasi berbagai unsur kepercayaan sejak animisme hingga modern. Do’a yang dibaca adalah do’a Islam akan tetapi yang di do’akan adalah keselamatan industri modern ditepi laut, dan kelengkapannya sedekah laut.
2.    Aliran Sinkretisme
Dalam pustaka kejawen manusia mempunyai watak yang sinkretis dimana orang tidak perlu mempersoalkan tentang benar atau salahnya suatu agama. Penganut paham sinkretis diman orang tidakperlu mempersoalkan tentang benar atau salahya suatu agama. Penganut sinkretis memandang bahwa semua agama adalah benar dan baik. Dengan demikian ada kecenderungan untuk memadukan dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda, bahkan berlawanan, yang penting bagi mereka adalah kenikmatan rasa dan kebahagiaan batin.
Dalam kepustakaan Islam kejawen dinyatakan bahwa orang yang dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan digambarkan sebagai seorang insan kamil, yaitu bagaikan orang sakti dan berkuasa laksana Tuhan dimana ”kan cinipta dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka saka permaning kang kawasa”;dalam arti apapun yang diinginkan akan terlaksana dalam kenyataan.   

D.  AJARAN ISLAM KEJAWEN
1.    Tri sila
a)    Eling
b)   Pracaya (piyandel)
c)    Mituhu
2.    Watak keutamaan pancasila
a)    Rilo
b)   Nerimo
c)    Temen
d)   Sabar
e)    Budiluhur
3.    Pepali
a)    Ojo menembah marang saliyane Allah
b)   Dingati-ngati bab sahwat
c)    Ojo memangan utowo migunakake pangan kang anggampangake rusaking raga.
d)   Padho angestokno angger-anggering praja lan pranatane.
e)    Ojo padha cecongkrahan.
4.    Petang kejawen
Setiap hal yang dianggap penting orang kejawen selalu mengunakan perhitungan yang istilahnya disebut ”petang kejawen”, misalnya :
a)    Duduk ris petanganipun; bumi, jalmo, wono, pralaya.
b)   Ngedekakaen griyo petanganipun; kerta, yasa, candi, rogoh, sempoyong.
c)    Boyongan petanganipun; sri, dadi, pangkalan, wurung.
d)   Buka usaka petanganipun; sandang, pangan, loro, mati.
e)    Tetukonan barang utawo bibit petanganipun; sri, kitri, gono, liyeh, pokah.
f)    Tiyang sakit; bejo, banyu, petak, tangis.
g)   Tetandur petanganipun; oyod, wid, godong, uwah.
h)   Kekesahan petanganipun; kliyek, menthek, joyo, kemil.
i)       Tumbas kewan petanganipun; suku, watu, gajah, sungu.
j)       Ngimpi petanganipu; titi, yono, puspo, tajem.
k)   Sedo petanganipun; gunung, guntur, seguro asat.
l)       Manten petanganipun; pegat, jodo, wayuh.
m) Tingkep bayi petanganipun; banyo, bati, pati[4].
5.    Wewarah
Wewarah merupkan pelajaran dan tuntunan hidup manusia kejawen, yang meliputi:
a)    Landasan diplomasi.
1)   Sugih tanpo bondho
2)   Perang tanpo bolo
3)   Menang tanpo ngalahake
4)   Weweh tanpa kelangan
b)   Landasan pribadi.
1)   Sabar
2)   Sareh
3)   Saleh
c)    Landasan pemimpin.
1)   Sipat ratu
2)   Sipat pendhito
3)   Sipat petani
d)   Landasan penguasa.
1)   Aja gumunan
2)   Aja kagetan
3)   Aja dumeh
e)    Landasan ksatria sejati.
1)   Aja adigang
2)   Aja adigung
3)   Aja adiguno
f)    Landasan pergaulan.
1)   Ora golek konco lan ora golek rewang, sing digoleki kebecikan sejatining becik, konco biso pisah,rewang duwe pamrih, kebecikan sejatining becik iku becik.
g)   Landasan payembah.
1)   Eling marang pangeran kang gawe urip. Pada persoalan ini maka ada filsafat kejawen yang menyatakan; ”sak bejo-bejoning wong kang lali isih bejo wongkang eling”.
2)   Percaya marang gusti kang murbeng dumadi.
3)   Mituhu marang sekabehing dawuhing Allah.  
h)   Landasan pengabdian.
1)   Rumongso melu handharbeni.
2)   Rumongso melu hangrungkebi.
3)   Mulatsariro hangrosowani[5]. 
i)       Landasan jejodhohan.
1)    Ayu
2)    Ayom
3)    Ayem
4)    Ayam


[1] Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, Ataasadur Adamakna (Soemodidjojo Maha Dewa, Nhayugyakarta Hadiningrat, 1990) hal., 30.
[2] Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, Ataasadur Adamakna…..hal. 18.
[3] Mahfud sya’rono, Silahul Mu’min (Surabaya: Ampel Suci, tt) hal. 33.
[4] Yayasan Para Psikologi Semesta, Universal Para Psykologi (Ponorogo, 2006).
[5] Diambil dari tulisan Presiden Suharto di pendopo Mataram proyek miniature Indonesia indah di Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal isra' mi'raj

Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi