Hadis


Hadis

Oleh : Wikan Yustafa

A.  Hadis Menurut Kuantitas Penuturnya

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis datinjau dari sudut kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi berita ini. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu hadis muutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada yang membaginya hanya menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan ahad.
Ulama’ golongan pertama, yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad, diikuti oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah abu bakar al Jashshash (305-370 H). sedangkan ulama’ golongan kedua, yang menjadikan hadis masyhur sebagai bagian dari hadis ahad, diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan kalam. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad. Berdasarkan pembagian ini , maka hadis mansyhur, hadis aziz, dan hadis garib merupakan bagian dari hadis ahad. Pada pembahasan ini akan diuraikan pembagian menurut pendapat yang kedua[1] :    
1.    Hadis Mutawâtir
a.    Pengertian hadis mutawâtir
Menurut bahasa mutawatir berarti mutatabi’ = yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berturut-turut. Sedangkan menurut istilah ialah “khabar yang didasarkan kepada panca indera, yang diberitakan oleh sejumlah orang, yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atas dusta (dalam pemberitaannya itu)[2]. Begitu juga dalam bukunya Untung Ranuwijaya yang mengambil dari bukunya Ahmad bin Muhammad al_Fayummi dalam bukunya al_Misbah al-Munir fi gharib as_syarah al_kabir li ar_rafi’I, jus II, yaitu; “mutawatir menurut bahasa, berarti mutatabi’ yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jarak. Sedangkankan pengertian hadis Mutawatir secara terminologis, yaitu;” hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. (jumlah yang banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya[3].  Sangat jelas bahwa hadis mutawatir merupakan hadis yang; pertama, diriwayatkan oleh orang banyak, kedua, hadis diterima oleh otrang banyak , ketiga, ukuran banyak disini relatif, dengan ukuran sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakan untuk berdusta, keempat, hadis diperoleh oleh pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka.   
b.    Syarat-syarat hadis mutawâtir
Berkaitan dengan syarat-syarat hadis mutawatir hanya dibicarakan ulama’ mutakhirin. Syarat-syarat itupun bukan  berkaitan dengan kualitas sanad-sanadnya, melainkan hanya pada jumlah kuantitasnya. Sedangkan ulama’ mutaqaddimin tidak membicarakan hal itu sama sekali. Maka syarat-syarat hadis mutawatir menurut mereka adalah sebagai berikut :  
1)   Diriwayatkan olah banyak perowi.
Pada persoalan ini ada pendapat beberapa ulama, ada yang memepersoalan tentang jumlahnya dan juga sebagian yang lain tidak mempersoalkan jumlah nya. Ulama’ yang tidak mempersoalkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut kebiasaan, dapat memberikan keyakinan terhadap kebenaran apa yang diberikan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta[4].  Sedangkan menurut ulama’ yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. Ada yang menyebutkan harus lebih dari 4 orang berapapun banyaknya; ada yang menyebutkan dengan jumlah yang pasti seperti 40 orang, atau 70 orang, atau bahkan 313 orang.
2)   Adanya keyakinan, bahwa mereka tidak sepakat untuk berdusta
Dengan syarat seperti ini memberikan kejelasan, bahwa penetuan jumlah-jumlah tertentu, bukan merupakan ukuran pokok untuk menetapkan suatu hadis mutawatir. Yang menjadi ukuran, ialah apakah dengan jumlah orang-orang yang membawa berita itu sudah mencapai ilmu dharuri atau belum, artinya sudah memberikan kepastian akan akan kebenaran berita yang dibawanya atau belum, apakah diantara mereka mungkin melakukan kesepakatan berdusta atau tidak[5].
3)   Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqahnya.
Jumlah sanad mutawatir, antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah (tingkatan) lainnya harus seimbang. Misalkan, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah yang berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang[6].
4)   Berdasarkan pada tanggapan pancaindra.
Berita yang disampaikan oleh para rawi sebagai pembawa berita, harus berdasarkan hasil pengamatan pancaindra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya, atau sentuhannya[7].
c.    Pembagian hadis mutawâtir
1)      Mutawatir Lafzhi
2)      Mutawatir ma’nawwi
d.   Faidah hadis mutawâtir
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkan isinya.
e.    Kitab-kitab hadis mutawâtir 
2.    Hadis Âhâd
a.    Pengertian hadis âhâd
b.    Kehujahan hadis âhâd
c.    Pembagian hadis âhâd
3.    Hadis Masyhur
a.    Pengertian hadis mansyhur
b.    Pembagian dan kehujahan hadis mansyhur
c.    Kitab-kitab hadis mansyhur 
4.    Hadis Àziz
a.    pengertian hadis àziz
b.    pembagian dan kehujahan hadis aziz
5.    Hadis Gharib  
a.    Pengertian hadis gharib
b.    Pembagian hadis gharib
1)   Hadis gharib dilihat dari sudut penyendirian pe_rawi
a)    Hadis gharib mutlaq
b)   Hadis gharib nisbi
2)   Hadis gharib dilihat dari sudut ke ghariban sanad dan matannya
a)    Garib pada sanad dan matan secara bersama-sama
b)   Gharib pada sanad saja
c)    Kehujahan hadis gharib

B.  Macam-macam Hadis Yang Dapat di Amalkan

1.    Hadis Shahih
a. Pengertian hadis shahih
b.    Syarat-syarat hadis shahih
c.    Pembagian hadis shahih
d.   Kehujahan hadis shahih
e.    Rangking silsilah sanad hadis shahih
2.      Hadis Hasan
a.       latar belakng munculna hadis hasan
b.      pengertian hadis hasan
c.       syarat-syarat hadis hasan
d.      kehujjahan hadis hasan
e.       martabat hadi hasan 
3.      Hadis Shahih lighairihi
Yang dimaksud dengan hadis shahih lighairihi, ialah hadis yang ke_shahihan_nya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada mulanya, memiliki kelamahan pada aspek ke-dhabiht-an pe_rawi_nya. Diantara perawinya ada yang kurang sempurna ke-dhabiht-annya, sehingga dianggap kurang memiliki syarat untuk dikategorikan dalam hadis shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hasan li_dzatihi.
Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan atau sanad lain) yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matan_nya, hadis ini derajatnya naik setinggkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih lighairihi.      
4.      Hadis hasan lighairihi
Hadis hasan lighairihi, ialah hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterang lain, katena adanya syahid atau mutabi’. Dengan pengertian ini jelas, bahwa hasan lighairihi kualitas asnya di bawah hadis hasan, yakni hadis dho’if.  

C.  Kesimpulan



[1] Utang Ranuwijaya, ilmu hadis, Jakarta: gaya Media Pertama, tt, 123.
[2] Moh. Anwar Bc. Hk., ilmu mushthalahah hadits, Surabaya: al_ikhlas, 1981, 16. 
[3] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 124.
[4] Ahmad Muhammad as_Syakir, Syarh alfiyah as_Suyuthi fi ilm al_hadis, dalam bukunya Utang Ranuwijaya, ilmu hadis, 125.  
[5] Utang Ranuwijaya, ilmu Hadis, 127.
[6] Ibid.,
[7] Muhammad bin alwi al_ Maliki,      al_Manhal al_Lathif fi Ushul al Hadis asy Syarif, dalam bukunya Utang ranuwijaya, 128.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia dalam pandangan kejawen

Proposal isra' mi'raj

Urgensi Kontruksi ilmu kalam dalam studi